"Nuwun sewu. Acara Natalan di lingkungan RT kita ini dari jaman dahulu selalu diadakan dan sudah menjadi kebiasaan," aku berhenti sejenak melihat reaksi warga. Mereka grenengan. "Tapi Desember tahun ini kelihatannya amleng-amleng saja tak ada greget," terus, kuberanikan diri, "Nuwun sewu Pak RT. Niku Bu RT ketua PKK RT, kados pundi kalau di akhir tahun ini diadakan acara keagamaan yaitu Natalan!"
Sampai menjelang kumpulan RT selesai dan ditutup dengan doa oleh Pak Kyai tidak ada yang menanggapi usulanku. Para warga pun pamit, kelilan pulang ke rumah masing-masing. Tak ada tanggapan atau pendapat  mengenai usulan Pak Joko, Pak Muchsin, apalagi usulanku. Masalah acara keagamaan pada bulan Desember di akhir tahun mungkin mengendap di benak warga masing-masing. Beku tak ada reaksi, tak bermakna bagi mereka, sekali pun di benak warga yang dulu selalu ikut merayakan acara Natalan RT yang diselenggarakan keluarga Nasrani, diselenggarakan oleh pengurus PKK RT.
Sampai di rumah, aku tercenung. Mengapa kebiasaan saling bersilaturahmi, saling menghargai dan menghormati pada hari-hari perayaan agama kini tak semeriah dulu? Tak berwarna-warni guyub rukun tak membedakan agama dan kepercayaan. Walau  hanya mengucapkan selamat Natal di medsos menjadi kisruh. Tak ada  lagi penyelenggarakan perayaan Natal di lingkungan warga terkecil, di lingkungan RT. Dahulu, seperti nyadran, suran atau ruwat bumi,  diselenggarakan desa. Sekarang tak ada. Mengapa? Entahlah?
Sampai larut malan aku tak bisa tidur. Kukabarkan pada suami yang tengah berada di luar kota bahwa usulku untuk menghidupkan kembali kebiasaan acara Natalan di RT telah gagal.Â
Suamiku menjawab dengan mengirimkan informasi cukup panjang di wa-ku, "Bu, Ini kukutip dari CNN Indonesia - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Selasa (23/12), mengatakan fatwa yang pernah dikeluarkan MUI soal Natal tidak spesifik melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut hanya mengharamkan umat Islam untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Natal. Ada tiga hal yang diatur dalam fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 1981 itu, yaitu: Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, tetapi Natal  tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak  mengikuti kegiatan-kegiatan Natal"
Bedhug subuh lalu diikuti azan subuh berkumandang. Aku segera ke kamar mandi untuk wudhu mau sholat subuh. Akan kuadukan pada Gusti Allah ingkang Murbeng Dumadi pada dzikir nanti mengapa kegiatan indah penuh warna pada Bulan Desember itu telah hilang?
Mengapa bintang cemlorot di langit penuh kedamaian, keberagaman, saling menghargai, saling menghormati bersama-sama merayakan dan menyambutnya tanpa ada perbedaan makin pudar nyaris musna? Oooo .. sudah terjadi lereping lintang ing langit wulan Desember. Mengapa? Entahlah .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H