Kini lagi heboh adanya yang kontra masalah penyelenggaraan ritual adat leluhur yang sudah dijalankan puluhan bahkan ratusan tahun silam yang ditentang oleh mereka yang tidak setuju dengan alasan akan ketimpa azab berupa bencana. Sedekah Laut di Cilacap yang diprotes lewat bertebarannya spanduk dan banner seperti ini salah satunya "Sedekah karena Selain Allah Mengundang Azab Looh".
Malah, lokasi Sedekah Laut di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul diobrak-abrik sekelompok orang yang tak setuju acara tersebut. Di Banyuwangi Gelar Gandrung Sewu di Pantai Boom dikecam FPI. Terjadilah gesekan budaya dan agama yang ditengarai karena isu tentang Festival Nomoni. Di dalam kegiatan tahunan pada perayaan ulang tahun Kota Palu itu, para tetua adat membaca mantra-mantra tua dan kembali menghidupkan tradisi lama: memberi sesaji pada semesta.
Jangan terpancing gesekan itu. Mari, berwisata budaya ke Grumbul Kalitanjung Desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas yang telah ditetapkan menjadi sentra budaya Banyumas dan desa adat oleh Pemkab Banyumas.
Memang, Grumbul Kalitanjung ini memiliki kekayaan adat, seni dan budaya yang tetap diuri-uri tak lekang oleh jaman tak tergerus modernitas. Warisan leluhur Kalitanjung ini dirawat sedemikian rupa oleh komunitas para Kyai yang pakai iket hitam dan Nyai yang memakai jarit.
Komunitas ini beranggotakan warga setempat yang usianya rata-rata 76 tahun, paling muda 65 tahun dan tertua 120 tahun. Garebeg Sura, merupakan salah satu upacara wajib yang digelar setiap tahun baru Jawa. Tradisi ini ternyata sudah dilakukan secara turun temurun oleh para Kyai dan Nyai.
Cikal bakal masyarakat Kasepuhan Adat berasal dari Kadipaten Bonjok, wilayah kekuasaan Kadipaten Pasirluhur di bawah Kerajaan Mataram. Adipati yang pernah memimpin Kadipaten Bonjok adalah Wiranegara, Suranegara, Mertanegara, Mertagati, dan Sabdogati. Keberadaan kelompok Kesepuhan Kalitanjung ternyata tidak lepas dari pengaruh para adipati terutama dalam adat istiadat yang masih dipatuhi sampai sekarang.
Berkat ketekunan seorang mubalig dari Demak yang menyebarkan agama Islam di Kadipaten Bonjok, Adipati Mertanegara berikut para pejabat bawahannya masuk Islam. Sejak saat itu, dia lebih senang dipanggil Kyai Mertanegara dan istrinya Nyai Mertanegara sehingga melahirkan adanya kelompok kesepuhan yang memiliki adat istiadat kejawen.
Selain wisata budaya adat dan religi seperti ruwat bumi, bukakan, tutupan Sadranan, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Tirta Kencana desa Tambaknegara telah memetakan potensi wisata antara lain, Pemandian Kali Bacin, Gua Kodo dan Batu Kelir. Tentu saja babagan seni yang unik seperti musik gandalia, wayang kulit sinden lanang, lengger lanang, ebeg dan tari buncisan.
Dari sekian pesona wisata budaya adat dan relegi di Grumbul Kalitanjung ada suatu adat ritual yang unik dan  jarang tereksposkan yaitu  adat ritual selamatan orang meninggal dunia yang disebut "Menyuri". (Ritual ini sudah saya kemas dalam film dokumenter, silakan simak di YouTube : Saeran Samsidi "Menyuri Menguak Misteri Suluk Sumirang" sebagai sumber tulisan ini)
Menyuri, berasal dari kata sunya dan ruri. Sunya artinya sepi, kosong, ngawang-uwung, gaib. Ruri artinya tempat, suasana, keadaan. Sunya ruri, artinya suatu tempat atau suasana yang sunyi. Semua ini tercatat dalam kitab kuno yang disebut Layang Menyuri dan salah satu isinya adalah pupuh Suluk Malang Sumirang.
Layang Menyuri disusun pada zaman peralihan Hindu-Islam bersamaan dengan berakhirnya Kerajaan Majapahit dan awal Kasultanan Demak. Konon, Suluk Malang Sumirang ini disusun oleh Pangeran Panggung murid Syeh Siti Jenar yang ketika itu sedang dihukum obong karena divonis menyebarkan ajaran sesat. Namun, Pangeran Panggung bukannya tewas dibakar, malah dapat menyusun Suluk Malang Sumirang ini dan diberikannya kepada Raden Patah setelah itu Pangeran Panggung menghilang.