Ada apa dengan sedekah laut? Yaaah ... laut kan menambah kedahsyatan bencana menambah penderitaan korban bencana. Karena gempa menyebabkan tsunami, gelombang dahsyat laut sampai setinggi lebih dari 10 meter memporandakan apa pun yang dilalui. Bibir pantai sampai ke permukiman yang terjangkau digulung ombak laut, rumah, pepohonan, mobil dihempas menjadi berantakan, mengerikan.
Beda dengan daerah yang jauh dari laut bila gempa melanda dampak kerusakan dan penderitaan tidak dobel seperti daerah yang dekat laut. Sejarah gempa membuktikannya, Aceh, Palu, Donggala, Sigi dan daerah pesisir laut selatan seperti Bantul Yogyakarta, yang pernah dijamah tsunami. Para penduduk di sana harus lebih waspada dan sadar tanggap bencana.
Ooo ... kaya kuwe? Pantas Cilacap digelontor banner dan spanduk untuk membatalkan acara wisata budaya "Sedekah Laut". Dikutip dari Merdeka.com gelaran tradisi sedekah laut masyarakat nelayan di pesisir Cilacap pada Jumat (12/10), menjadi perhatian berbagai kalangan, sebab adanya sebaran foto pamflet yang bertuliskan sejumlah pesan berisi peringatan bencana sebagai azab yang bernada provokatif membuat resah masyarakat Cilacap.
Sebaran itu di antaranya berbunyi, "Jangan larung sesaji karena bisa tsunami", "Sedekah karena Selain Allah Mengundang Azab Looh", "Buatlah Program Wisata yang Allah tidak Murka", dan "Rika Sing Gawe Dosa Aku Melu Cilaka". Ala ... la ... la  njur keprimen?
Sedekah Laut juga digelar di  beberapa wilayah dilakukan masyarakat nelayan di wilayah desa masing-masing. Misalnya, kelompok nelayan di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap menggelar tradisi sedekah laut di pantai wisata Sodong yang melibatkan masyarakat adat Banakeling di desa setempat.
Menurut Ketua Forum Umat Islam (FUI) Cilacap, Syamsudin  yang paling dipermasalahkan adalah kata Sedekah, yang berkonotasi dengan 'Sodaqoh' dalam agama Islam. Dia khawatir kata sedekah itu menimbulkan persepsi yang negatif lantaran sedekah laut adalah larung sesaji ke tengah laut. "Saya tegaskan yang kami tolak bukan ritualnya. Karena kita pun menghormati kalau itu memang bagian dari ritualnya kelompok kepercayaan yang lain," Syamsudin menjelaskan kepada Liputan6.com.
Syamsudin juga mengaku tak mempermasalahkan gelaran sedekah laut. Sebab, ada pula kelompok masyarakat yang mengartikan ritual itu sebagai bagian dari ritual ibadah. Hanya saja, ia memperingatkan agar umat Islam tak mengikutinya. Itu termasuk pada siswa sekolah dan guru beragama Islam yang diimbau untuk hadir dalam sedekah laut oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap.
Untung saja di Cilacap hanya digelontor banner dan spanduk. Di Bantul Yogya kejadiannya lebih seru karena ada pengrusakan. Selain spanduk bertuliskan "Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya" dan "Cintailah Yogyakarta dengan iman dan amal shalih, tinggalkan tradisi jahiliyah sedekah laut atau bumi." sekelompok orang mendatangi lokasi tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul.
Menurut keterangan warga mereka datang dengan menggunakan cadar hitam sehingga sulit dikenali. "Mereka minta dibatalkan karena sedekah laut itu syirik dan musyrik, terus bertentangan dengan agama," kata salah seorang warga, Tuwuh (48) yang juga saksi mata saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Bantul, Sabtu (13/10/2018).Tuwuh yang bekerja sebagai nelayan ini menceritakan suasana mencekam yang dilihatnya semalam.
"Mereka juga sempat merusak meja dan membanting kursi tadi malam, diobrak-abrik lah pokoknya sekitar 15 menitan," imbuhnya.
Di Banyuwangi, awal Oktober lalu, Bupati Abdullah Azwar Anas berapi-api ketika memaparkan beragam festival di bumi Blambangan. Salah satunya, pergelaran Gandrung Sewu pada 20 Oktober. Â Lalu, pada Kamis dini hari, Banyuwangi terdampak gempa 6.4 SR di Laut Bali.
Front Pembela Islam (FPI) di Banyuwangi mengeluarkan surat pernyataan sikap yang langsung viral di media sosial. Surat bernomor 0003/SK/DPW-FPI Banyuwangi/II/ 1440/Tanggal 11 Oktober 2018 itu berisi kecaman terhadap acara Gandrung Sewu yang akan digelar di Pantai Boom, Banyuwangi. "Kegiatan itu akan mengundang semakin banyak bencana di bumi, khususnya di tanah Banyuwangi," kecam FPI dalam surat yang ditandatangani Ketua Tanfidzi Agus Iskandar dan Sekretaris Yudo Prayitno.
Sebab musabab gara-gara bencana seperti gempa dan tsunami kerap dibenturkan dengan dalil-dalil ideologis yang bisa menggesek budaya dan agama. Isu yang menyebabkan gesekan ini ditengarai karena Festival Nomoni. Di dalam kegiatan tahunan pada perayaan ulang tahun Kota Palu itu, para tetua adat membaca mantra-mantra tua dan kembali menghidupkan tradisi lama: memberi sesaji pada semesta.
Banyak orang awam tidak paham, bahwa Indonesia dikelilingi oleh Ring of Fire. Cincin api. Nusantara, Â punya sedikitnya 127 gunung berapi aktif. Jika satu menggeliat, geliatan itu bukan tidak mungkin akan menjalar pada cincin api. Belum lagi jika lempeng-lempeng besar di bawah laut pun bekerja. Evolusi gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami menjadi fenomena alam tak terelakkan, informasi ini bisa dibaca di akun @infoBMKG .
Jadi ada apa di balik Sedekah Laut? Kabid Didikbud Cilacap Badrudin Emce mengatakan, Sedekah Laut adalah tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat nelayan sejak jaman dahulu. Ritual ini tak berhubungan dengan akidah atau kepercayaan tertentu.Â
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap memeliki kepentingan dalam tradisi ini. Kegiatan sedekah lau ini untuk memperkenalkan kekayaan budaya Nusantara kepada siswa maupun guru. Oleh karenanya Disdikbud menyarankan agar guru dan siswa mengikuti gelar budaya itu untuk media pembelajaran, "Agar bisa menmgenal, menapresiasi budaya yang ada di sekitar lingkunganya," Nah, kaya kuwe seperti dikutip dari Tribunjateng.Com.
Lain Cilacap, lain Banyumas. Cilacap ada sedekah laut lalu timbul pro dan kontra, lha, Banyumas ada sedekah bumi, apa nanti juga muncul pro dan kontra? Pemkab Banyumas lagi gencar-gencarnya menggelar even wisata budaya untuk merayu pelancong dari berbagai daerah untuk berkunjung ke Banyumas dalam rangka meningkatkan perolehan PAD untuk menyejahterakan masyarakat. Lha, kalau timbul pro dan kontra lalu timbul gesekan antara budaya dan agama, jan cilaka pisan.
Semoga dari 19 even wisata budaya yang digelar Pemkab Banyumas melalui Dinporabudpar ada 6 paket yang bisa memungkinkan pro dan kontra yaitu : Jaro Rojab, Unggah-unggahan Adat Bonokekeling, Tutupan Sadran Kalitanjung, Grebeg Suran Festival Baturaden, Penjamasan Jimat Kalisalak, Kalibening dan Nalabranta, tidak menimbulkan pro dan kontra.
Pro dan kontra wajar asal tidak merembet lalu menggesek antara budaya dan agama. Tapi masyarakat Banyumas yang memiliki kesadaran pluralitas tinggi, yang mampu menjaga dan memelihara berbagai keberagaman budaya, agama, kepercayaan, adat istiadat di Tlatah Banyumas karena sikap terbuka mau menerima dan memahami sesama telah menjadi rabuk kesuburan Bhineka Tunggal Ika. Semoga tidak ada pertanyaan, ada apa di balik sedekah bumi?
Sumber : Merdeka.com, Liputan6.com, Tribunjateng. Com,
kolom detiknews : candra malik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H