Apakah alun alun Purwokerto punya filosofi? Ah, aeng-aeng bae lah kue,masa alun alun ana filosofine? Itulah jawaban yang disampaikan warga milenial Purwokerto yang lagi pada duduk-duduk sireng-sireng di alun-alun Purwokerto bila ditanya apakah alun-alun ada filosofinya?
Alun alun Purwokerto sudah berbeda jauh model tata letaknya. Sejak tahun 2008 alun-alun Purwokerto dibongkar, dibuldoser, diratakan menjadi tanah lapang terhampar rumput yang selalu diganti karena rusak diinjak-injak pengunjung. Konon, maunya pembongkar alun-alun ini supaya lebih modern seperti park-park di luar negeri. Agar warga terbebas dari sekat-sekat bebas berekspresi.
Lha, dibanding yang dulu kan bagus yang ini. Lebih lapang buat kongkow-kongkow, enak banyak orang jualan. Begitulah kebanyakan pendapat para pendukung orang yang membongkar alun-alun. Menurut mereka inilah gebrakan orang yang berani dan inovatif.
Ayo, kembali lagi apakah alun-alun Purwokerto ada filosofinya? Yah, kalian kan warganet, tinggal gogling saja. Nah, inilah hasilnya saya paparkan, ya. Disimak baik-baik.
Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan tempat berlatih perang  bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah raja kepada kawula, pusat perdagangan dan hiburan rakyat. Tata letak alun alun para raja di Tanah Jawa ini penuh filosofi.
Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin yang di pagari sekelilingnya. Dua pohon beringin ini memiliki filosofi bahwa seoran pemimpin harus mengayomi rakyatnya.Wringin kurung kembar ditengah alun alun di kiri kanan jalan membelah juga sering digunakan untuk pepe para kawula yang akan protes terhadap sinuwun sang pengusa.
Alun-alun juga terpisah oleh satu jalan lurus yang membelah alun alun menjadi sebelah timur dan barat. Jalan lurus di tengah alu-alun tersebut menuju pendopo yang berada di sisi utara alun-alun. Jalan tengah ini bermakna bahwa rakyat yang ingin sowan atau berkunjung ke rajanya atau pemimpinnya hanya menampakan diri agar lebih sopan.
Bagian barat alun alun ada masjid melambangkan kebaikan. Bagian timur ada penjara melambangkan keburukan. Dulu di alun alun Purwokerto bagian timur ada kantor pengadilan bukan penjara, penjaranya di selatan barat. Alun alun Banyumas yang masih memiliki tata letak berfilosofi ini yang merupakan karya bupati Banyumas ke-12 Yudanegara V.
Yudanegara V Â yang membuat alun alun model kraton Surakarta ini akhirnya dipecat karena dianggap mau menyamai raja Surakarta. Yudanegara V memang berani melawan pengaruh kekuasaan kraton untuk memperjuangkan Banyumas menjadi tanah perdikan terpisah dari budaya nagari gung Kraton Solo.
Kini, saat ada pemilihan bupati Banyumas yang ke-32 mari serukan "Kembalikan Alun alun Sesuai Filosofinya" kepada siapa pun yang nanti terpilih menjadi Bupati Banyumas. Tidak mungkin? Nasi sudah menjadi bubur? Yah, minimal tidak ada lagi bupati yang tidak menghargai warisan budaya leluhur dengan merusak menghancurkannya dengan membangun yang baru tanpa pertimbangan matang.
Mari, warga Banyumas, kita kenang, kita teladani perjuangan heroik  leluhur kita Yudanegara V yang berani mengibarkan budaya Banyumas, budaya "adoh ratu cedhek watu" sejajar dengan budaya "nagari gung" walau warisannya alun alun telah dihancurkan orang. Mari kita wujudkan "Banyumas dadi Sinaring Tlatah Penginyongan"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H