Belum lama ini lengger lanang Dariah kelahiran Dusun Plana Desa Somakaton Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas meninggal dunia. Kakek berusia 97 tahun yang telah mendapatkan penghargaan "maestro seni tradisional" dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011 itu, meninggalkan jejak kemahsyuran travesti Tlatah Penginyongan yang melegenda.
Pigeud dalam buku Javans Volksvertoningen, mengisahkan adanya tradisi travesti di Banyumas. Travesti adalah seni pertunjukan tari yang dimainkan oleh  laki-laki yang berlaku kewanita-wanitaan, seorang laki-laki yang senang berdandan dan bersolek menarikan tarian yang bisa ditarikan seorang perempuan.
Begitulah Dariah yang terlahir sebagai laki-laki dengan nama Sadam memerankan bentuk travesti sampai akhir hayatnya. Sejak kecil, ia memilih melakoni hidupnya menjadi perempuan untuk  menarikan lengger lanang tarian kuno khas budaya Banyumas. Dedikasinya di dunia seni tradisional tak tergantikan, kesetiaanya  menari lengger dari satu panggung ke panggung lain sampai akhir hayat meninggalkan jejak sejarah totalitas pengabdian di dunia seni tari kepada  anak cucunya para lengger lanang generasi penerusnya.
Dikira leng tahunya jengger,
Ada beberapa versi tentang riwayat lengger. Dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Achmad Tohari budayawan Banyumas dari Desa Tinggarjaya, Jatilawang Banyumas mengisahkan Srintil gadis belia yang harus melakukan upacara bukak klambu suatu syarat agar lengger mau terjun menjadi penari profesional. Keprawanannya harus dilelang, siapa yang berani  membayar paling tinggi, ia bisa menyingkap kelambu untuk memetik keperawanan si lengger. Berdasarkan novel ini, telah  difilmkan, yaitu Darah Ronggeng dan Sang Penari.
Konon, tak jauh dari Tinggarjaya, di desa Greduren, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, di desa inilah tempat kisah asal mula adanya lengger. Pada jaman itu tengah terjadi kekeringan, terjadi paceklik, karena sawah ataupun lahan tak bisa diolah, penduduk kelaparan. Lalu mereka beralih mbarang (ngamen) ke mana-mana untuk mencari nafkah.
Rombongan pengamen itu terdiri dari empat hingga enam  orang  yaitu penabuh iringan musik  berupa angklung dan kendhang, seorang ketua atau dukun dan sang penari. Rombongan pengamen itu oleh masyarakat disebut tledheksemuanya laki-laki termasuk penarinya. Mengapa hanya kaum laki-laki saja yang mengamen? Karena  laki-laki adalah tulang punggung rumah tangga yang bertanggung jawab kepada keluarganya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.   Maklum,  saat itu peran perempuan belum leluasa tampil di muka umum dan cukup berat kalau mengembara mengikuti rombongan tletdhek.
Mereka mengamen ke daerah-daerah yang dianggap subur bahkan sampai wilayah daerah Jawa Barat seperti Garut, Tasikmalaya, dan daerah lainnya sampai berhari-hari tidak pulang. Â Dalam mengamen mereka tidak mesti dibayar dengan uang, tapi juga berupa hasil panen daerah setempat seperti beras, jagung, lombok dan palawija lainnya.
Ketika sang penari laki-laki didandani perempuan menari dengan lenggak-lenggoknya yang menawan dan memesona di saat pentas di jalan atau di lapangan, Â para penonton mengira sang penari pasti seorang perempuan. Tetapi, setelah tontonan selesai dan penari melucuti dandanannya ternyata dia seorang laki-laki, maka penari itu dipanggilnya lengger. Dikira leng (perempuan, karena ada leng) tahunya jengger (laki-laki, ada jenggernya) (Koderi,1991:60).
Lengger, itulah jarwo dhosok atau kereta basa atau akronim. Misal guru, degugu detiru,hansip, pertahanan sipil. Lengger juga jarwo dhosok dikira leng ternyata jengger, juga  gara-gara leng menjadi geger. Saking populernya, lengger menjadi selebritas jaman itu, banyak fans yang tergila-gila ingin dekat, ingin ikut menari bersamanya melalui saweran bahkan ingin memeperistri. Akibatnya terjadi keributan, baik saat pentas berkelahi memperebutkan lengger atau ribut masalah rumah tangga karena suami selingkuh dengan lengger. Karena leng jadi geger.
Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah lengger berarti ana celeng padha geger. Pengertian ini tidak lain berkaitan dengan pola kehidupan tradisional agraris masyarakat yang bermukim di daerah Banyumas. Kultur petani di daerah ini telah melahirkan tradisi lengger masyarakat setempat. Kalimat ana celeng padha geger diilhami oleh hama babi hutan yang merusak tanaman pertanian (padi, jagung, jewawut, ketela pohon, dan lain-lain). Apabila sekelompok babi hutan datang merusak tanaman pertanian maka masyarakat geger dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian untuk mengusir hama tanaman tersebut. Kebiasaan ini kemudian diungkapkan kembali melalui tabuh-tabuhan alat musik yang diberi tari-tarian yang akhirnya disebut dengan istilah lengger (Yusmanto)