Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Faktor yang Dapat Menyebabkan Kepunahan Bahasa Ngapak

7 Februari 2018   16:03 Diperbarui: 8 Februari 2018   19:37 3465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://portalsemarang.com

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan sejak 1991 hingga 2017 telah mengidentifikasi dan memvalidasi 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan. Bahasa daerah yang diidentifikasi tidak termasuk dialek dan subdialek, jika berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi maka bahasa di Indonesia berjumlah 733 bahasa, kata Kepala Badan Bahasa Dadang Sunendar, Jakarta, Sabtu. Begitu, diwartakan Republika.co.id.

Dari ratusan bahasa daerah yang juga bahasa ibu tiap suku di Indonesia ada sejumlah bahasa daerah yang telah punah. Di Papua, ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah. Juga beberapa bahasa di Maluku Utara bernasib serupa. "Jika Tidak Dilestarikan, Bahasa akan Punah". Kompas pernah membuat berita dengan judul demikian (22 Februari 2007) saat memberitakan perayaan Hari Bahasa Ibu Sedunia di Jakarta. Kita semua dingatkan sebelas tahun yang lalu.

Akankah juga bahasa ibu wong Tlatah Penginyongan, bahasa ngapak akan punah? Sebagai pemakai bahasa Banyumas sing wong Banyumas gel, saya prihatin akan keberlangsungan penggunaan Bahasa Banyumas. Bahasa Banyumas sedang digerogoti pemakaian bahasa sehari-hari. Bahasa Banyumas tengah mengalami erosi yang bisa saja kelak terjadi longsor. Akibatnya bahasa ibu warga Tlatah Banyumas punah, seperti bahasa-bahasa daerah di Papua, Maluku Utara seperti dilansir UNESCO dalam laporan tahunannya pada Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Erosi itu karena digerogoti empat kultur komunitas yang berinteraksi dalam komunikasi kemasyarakatannya.

Di suatu kesempatan pernah Bagawan Sastra Banyumas Achmad Tohari mengatakan bahwa bahasa ngapak tak mungkin bisa punah selama masih ada wong Banyumas. Namun erosi itu bisa mengontaminasi Bahasa Banyumas sehingga keasliannya mulai luntur. Unsur-unsur bahasa dari luar Banyumas, kultur dan karakter para pendatang yang enggan atau lambat nyaman untuk menyesuaikan dengan bahasa dan budaya setempat, bisa mempengaruhi penduduk lokal. Dan sudah banyak lema atau kosa kata asli Banyumas hilang atau tidak dikenali.

Nah, siapakah orang, kelompok atau komunitas yang mengerosi basa ngapak itu?

Pertama, kelompok komunitas para orang tua, orang berada, pejabat, yang menggunakan Bahasa Jawa dialek wetanan alias bandhek untuk menaikan derajat dan prestis mereka supaya disebut kaum priyayi. Maklum, dialek ini adalah bahasa wilayah Nagari Gung. Kultur bahasa ini dibawa oleh kaum pendatang yang berasal dari daerah wetan seperti, Purworejo, Bantul, Sleman, Yogya, Klaten, Solo, Magelang sampai wilayah Jawa Timur yang bekerja di berbagai sektor di Banyumas.

Sehari-hari masih menggunakan dialek daerah asalnya dan celakanya wong Banyumas ikut terpangaruh, niru dialek ini karena merasa minder pakai bahasanya sendiri. Biar dikatakan priyayi juga. Karena, basane dhewek dianggap bahasa kaum rendahan, ngapak-apak, ora miyayeni. Lihat saja, pada acara-acara keluarga seperti hajatan, pembawa acaranya pasti pakai bahasa wetan bandhekan itu.

Kedua, kaum intelektual, para akademisi, politisi, pejabat, termasuk para guru dan dosen. Mereka akan merasa lebih berbobot dan ngintelek kalau bahasa komunikasinya keinggris-inggrisan. Maka, bertebaranlah kosa kata asing, khususnya Bahasa Inggris dalam tebaran orasi dan opininya.

Ketiga, kaum agamis. Bisa ditemukan di kalangan pesantren, jamaah masjid dan di sinetron-sinetron religius Islami. Kosakata Bahasa Arab mendominasi pada dialog-dialognya. Astafirullah, alhamdulilah, assalamualaikum, umi, abi, sampai ke nama-nama anak-anak zaman sekarang. Nama Jawa atau nama Banyumas seperti Wartim, Sainah, Rakim, Blokeng, Tarilem dan Saeran sudah diganti nama-nama Zazabila, Anissa, Choirunissa, Khoiril, Habibi, Abdullah, dsb. Lalu ada tajiah, tausiah, taaruf, hijab, dll. Pesona kata-kata ini mewarnai semerbak tuturan mereka yang dikumandangkan dengan aksen Arab. Aksen medhok Banyumas tenggelam.

Keempat, kalangan muda. Diwakili para pelajar dan mahasiswa yang meniru gaya para seleb atau pesohor yang tayang di sinetron-sinetron televisi. Ragam gaul jakartaan seperi lo ..lo .. gue .. gue ini menjadi patron sekaligus simbol dan gaya hidup anak muda masa kini. Rasanya tidak smart, tidak gaul en cool kalau nggak pake lo, doang, emang gue pikiran, kacian deh lo, cius mi apa dengan logat Betawi. Tersurat pada bacaan anak muda, teenlit, dan merajalelanya tururan presenter radio dan televisi. Kaum urban yang pulang kampung dari mengais rezeki di Jakarta juga kena gegar budaya. Saat mudik lebaran, pulang kampung akan tidak oke kalau pakai enyong-enyong, koe-koe, rika. Lebih metropolis kalau pakai gayanya.

imgrum.org/tag/godonggedang
imgrum.org/tag/godonggedang
Pendukung logat artis sinetron ini juga kaum urban. Mereka yang berurbanisasi ke Jakarta dan ketika pulang kampung lupa Bahasa Banyumas. Mereka yang telah sukses jadi perantau di ibu kota entah itu eksekutif muda, para babu, atau pedagang asongan akan lebih cool kalau berbahasa Betawi. Bahasa Jakarte cengkok Banyumas berseliweran saat mudik ketika lebaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun