Indonesia, orang bilang tanah surga, itulah cuplikan  lirik lagunya Koes Plus, Kolam Susu. Gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, suluk ki dhalang untuk menggambarkan suatu negeri termasuk Nusantara.
Gemah ripah, tanah surga, diolah dari sawah, lahan, kebun oleh sedulur-sedulur tani menghasilkan padi, sayur-sayuran, palawija, teh, kopi,  dsb. Ya Indonesia  memang negara agraris. Dan tata tentrem kerta raharja selalu didambakan dengan merawat kerukunan dan gotong royong.
Sedulur tani yang makarya untuk kehidupannya tidak pernah lepas dari alam, tanah, air, cuaca dan musim. Agar berhasil olah tanennya dulur tani harus bersahabat dengan alam. Ngopeni, ramah, menghormati, mensyukuri kepada Gusti Ingkang Murbheng Dumadi yang menciptakan dan menguasai alam.
Maka sejak jaman dahulu kala, dulur tani selalu melakukan ritual agraris agar berhasil dalam mengolah sawah atau lahannya. Merti desa atau ruwat bumi suatu perayaan untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena panen berhasil.
Sebaliknya  kalau panen gagal jadi paceklik, hasil tani puso, dulur tani pun melakukan ritual memohon pertolongan kepada Sang Penguasa Alam. Salah satu kegagalan panen adalah ketika musim kemarau berkepanjangan. Ketika  hujan  tak kunjung datang, dulur tani mengadakan ritual agraris untuk mengundang hujan.
Begitulah, Indonesia negeri agraris, beraneka ritual agraris dilakukan sedulur tani.  Berikut, tulisan di bawah ini adalah paparan aneka  ritual agraris mengundang hujan oleh para petani di Indonesia.
Aneka ritual mengundang hujan
Ada beberapa perlengkapan yang dipergunakan sebagai media untuk mengadakan ritual mengundang hujan, antara lain dengan : boneka, tongkat atau pecut/cemeti, binatang, roket dan alat rumah tangga, musik dll.
Ritual mengundang hujan dengan boneka
- Cowongan
- Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia.
Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata "cowong" ditambah akhiran "an" yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian wajah.
Cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah siwur yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Kini cowongan sudah tak lagi menjadi ritual agraris tetapi sebagai bentuk paduan seni rupa, tari, musik dikemas dalam bentuk teaterikalisasi.