Jakarta, kota penuh hiruk-pikuk yang tidak pernah tidur, selalu punya cerita. Namun, apa jadinya jika kisah kota ini berubah menjadi mimpi buruk akibat banjir dahsyat yang melumpuhkan segalanya? Bangkit (2016), sebuah film garapan Rako Prijanto, berani menjawab pertanyaan tersebut dengan pendekatan yang belum pernah ada sebelumnya di perfilman Indonesia: penggunaan CGI (Computer-Generated Imagery) untuk menghadirkan skenario bencana yang epik.
Film ini bukan hanya tentang banjir, tetapi juga tentang bagaimana manusia menghadapi krisis: antara tanggung jawab dan keluarga, antara ego dan pengorbanan, antara harapan dan kenyataan. Sebagai film bencana pertama yang menggunakan CGI di Indonesia, Bangkit membuka pintu baru untuk kreativitas di dunia sinema kita. Namun, apakah ia mampu memenuhi ekspektasi?
Jakarta Tenggelam: Bencana yang Dekat dengan Kita
Bagi penonton Indonesia, cerita Bangkit terasa sangat akrab. Banjir bukanlah sesuatu yang asing. Hujan deras yang mengguyur Jakarta selama berhari-hari menjadi pembuka film ini, membawa kita langsung ke tengah krisis. Dalam situasi ini, kita diperkenalkan pada Aditya Bayu (diperankan oleh Vino G. Bastian), seorang anggota Basarnas yang sehari-harinya sudah terbiasa menyelamatkan nyawa.
Namun, kali ini berbeda. Ketika hujan yang tak kunjung berhenti mengancam untuk meruntuhkan tanggul utama Jakarta, Aditya dihadapkan pada pilihan sulit: menjalankan tugas menyelamatkan ribuan nyawa atau melindungi keluarganya sendiri, yang juga terjebak dalam bahaya.
Konflik ini menjadi inti cerita Bangkit, di mana ketegangan personal dan bencana skala besar berpadu menjadi satu. Di sisi lain, ada Arifin (Deva Mahenra), seorang ahli meteorologi yang berjuang menyampaikan peringatan tentang potensi bahaya yang lebih besar, meski sering diabaikan. Sementara itu, istri Aditya, Denanda (Acha Septriasa), mencoba bertahan bersama anak-anak mereka di tengah kekacauan kota yang hampir tenggelam.
CGI: Berani Bermimpi di Industri Film Lokal
Bicara soal CGI, Bangkit adalah pionir di Indonesia. Inilah film pertama yang berani membawa teknologi ini ke level yang lebih serius. Adegan banjir, runtuhnya gedung, dan kepanikan massal dibuat dengan efek visual yang cukup memukau untuk ukuran film lokal.
Momen paling mendebarkan adalah ketika tanggul utama mulai retak dan akhirnya runtuh. Adegan ini memperlihatkan air yang meluap deras, menyapu segala sesuatu di jalurnya, lengkap dengan kehancuran yang terasa nyata. Anda bisa merasakan ketegangan yang sama seperti film-film bencana Hollywood, meskipun dengan beberapa keterbatasan teknis.