Sebuah film tentang difabel sudah banyak. Bukan hanya film Indonesia, namun film Non Indonesia juga. Sebuah keteguhan dan performa pencapaian cita-cita juga memberikan makna tersendiri saat menyaksikan sebuah film inspiratif.
Pada kesempatan kali ini, ingin kutuangkan sebuah review dan pesan terkandung dari adanya sebuah film luar negeri berjudul The Music of Silence.
Film yang berdurasi hampir dua jam-an ini menceritakan sebuah kisah difabel bernama Amos Bardi. Amos Bardi sejak kanak-kanak menderita penyakit glaucoma ocular dengan gangguan penglihatan relatif.
Dengan gangguan tersebut, akhirnya orang tuanya mengirim Bardi untuk disekolahkan di sebuah sekolah khusus memiliki gangguan mata. Kesedihan Amos Bardi di sekolah berasrama ini juga memberikan sebuah keprihatinan bagi Sandro (Ayah Bardi) dan Edi (Ibu Bardi). Kesedihan melingkupi Sandro dan Edi.
Semasa di sekolah itu pula, Amos Bardi mulai merasakan perbedaan. Di mana kekuatan utama bagi dirinya yaitu menjadi seorang penyanyi opera semakin muncul. Saat latihan bermusik, Amos Bardi mulai merasakan sesuatu yang dirasakan melebihi kemampuan anak-anak lainnya.
Gurunya melakukan sebuah tes kepada dirinya, dengan menyanyikan sebuah lagu sendirian. Apresiasi muncul dari gurunya. Saat itulah kekuatan dirinya muncul untuk bisa bernyanyi lebih baik. Amos Bardi pun bercita-cita ingin menjadi penyanyi seperti Franco Corelli.
Kehidupan di asrama semakin riuh. Permainan olahraga berupa bola kaki pun dimulai. Amos Bardi pun mengikuti permainan bola kaki dengan bola memiliki bunyi gemerincing. Naas, saat bermain bola kaki tersebut, Amos Bardi memiliki kecelakaan. Amos Bardi pun terjatuh setelah bola menimpa matanya. Amos Bardi pun kembali pulang ke rumahnya untuk perawatan.
Kembalinya Amos Bardi di rumahnya membuat dirinya semakin buruk. Kondisi matanya, semakin parah. Amos Bardi terpaksa mengenakan kacamata hitam agar silau cahaya tak mempengaruhi penglihatan matanya.
Kekuatan dari Amos Bardi ini memang sudah sejak kecil mulai terlatih dengan sering mendengar lagu-lagu opera. Bahkan, kekuatan utama Amos Bardi dalam menyanyi yaitu mulai dilatih dengan bantuan dari pamannya, Giovanny. Sejak kecil memang Amos Bardi sudah mulai dikenalkan lagu-lagu dari penyanyi opera seperti Beniamino G.
Saat berada di rumah inilah sebuah doktrin kuat dari orang tuanya muncul. Bahkan saat kecelakaan Amos Bardi saat di pantai. Amos Bardi berdebat hebat dengan ayahnya.
Sebuah kata-kata pemantik dalam film ini bisa disaksikan, seperti "Jika yang lain menunggang kuda, aku harus menunggang harimau. Jika yang lain bias melompati rintangan, aku harus melompati gunung. Jika ingin seperti orang lain, maka harus melakukan lebih baik dari orang lain." Begitulah sebuah doktrin menyatu dalam kepribadian Amos Bardi.