Saya meyakini bahwa budaya bukanlah sesuatu yang merupakan given atau hanya artefak peninggalan masa lalu. Budaya adalah sesuatu yang dinamis. Hal ini dapat dilihat pula dalam tradisi intelektual yang dalam lintasan sejarahnya selalu dinamis. Kadang berkembang pesat dan kadang pula redup. Tak hanya dalam bidang intelektual, dalam bidang lainnya juga demikian, termasuk dalam hal keber-agamaan. Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa tradisi keber-agamaan yang sudah menjadi budaya orang Indonesia sejak ratusan silam adalah adanya akulturasi dan ekletis. Di sini ada upaya penegasan bahwa tradisi keber-agamaan orang Indonesia bernuansa damai dan toleran. Namun patut disimak pula bahwa dari sisi politis, sejak masa Nusantara dahulu, bangsa ini telah dididik untuk menegakkan agama dengan cara menjatuhkan rezim negara-agama yang telah mapan.
Contohnya rezim kerajaan Hindu diruntuhkan oleh kerajaan Budha dan kemudian Islam. Cara pandang seperti inilah yang selalu diajarkan dalam buku-buku sekolah. Jadi ternyata tradisi keber-agamaan bangsa ini tidak mutlak dikonstruks secara akulturatif, damai, dan toleran. Namun di sisi lain juga dikonstruk melalui jalur kekerasan. Dari sini kita akan melihat dua model konstruksi tradisi keber-agamaan, yang pertama model rakyat, grass root, yang dibangun secara toleran. Karena biasanya masyarakat bawah pada masa feodal seperti itu hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh kelompok elit. Termasuk agama kalangan elit. Adapun yang kedua adalah model elit yang dikonstruk secara politis, konflik kepentingan, dan peperangan.
Akan tetapi mengapa di zaman sekarang, justru model elit ini juga merambah ke tataran rakyat, baik itu akar rumput sampai kaum intelektual yang notabene sering dibilang kelas menengah. Apakah telah terjadi pergeseran budaya? Jika memang benar dikatakan demikian, lantas apakah yang menyebabkan hal itu terjadi. Karena sebagaimana saya katakan di awal bahwa yang namanya budaya adalah yang dinamis, artinya budaya pun dapat dibentuk dan tidak mesti hanya merupakan artefak masa lalu. Oleh karena itu kita dapat melihat faktor-faktor pembentuk budaya yang bisa dikatakan budaya kekerasan atas nama agama yang sedang dipraktikkan oleh orang-orang Indonesia.
Faktor pembentuknya bisa ideologis, bisa pula karena faktor lain seperti krisis ekonomi. Tergantung dari mana kita melihatnya. Hanya saja sangat disayangkan apabila orang Indonesia justru cenderung pada satu model saja, yakni model elit yang ujung-ujung kontestasi kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan yang dalam pandangan saya mereka itu sangat Machiavellian, menggunakan cara apapun termasuk simbol-simbol agama demi tujuan politis belaka seperti perebutan otoritas publik. Sedangkan di sisi lain bangunan tradisi keber-agamaan yang lebih toleran dan akulturatif justru terbengkalai dan dinilai usang. Padahal dalam situasi seperti sekarang, model seperti ini patut diangkat kembali dan dipraktikkan oleh bangsa ini.
Bukankah kita semakin jenuh melihat aksi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, kemudian bertindak sesuka hati bertindak seperti orang suci, tentara Tuhan, wakil Nabi yang berhak menghakimi cara orang lain beragama dan berkeyakinan. Kita melihat batasan-batasan individu manusia yang bebas memilih apa yang dia yakini dan menjalankannya, termasuk membentuk komunitas tersendiri dalam kepercayaan yang diyakini itu tanpa paksaan siapa pun, tiba-tiba diterobos begitu saja karena dituding heretik oleh pihak-pihak lainnya yang merasa paling benar dan berada di jalan Tuhan. Apakah kita tidak jenuh oleh fenomena seperti itu? Atau malah kita kegirangan karena merasa menang? Sampai kapan konflik seperti ini terus dipraktikkan di negeri ini?
Saya termasuk orang yang setuju terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia mempunyai modal sosial yang sangat berpotensi, dan modal sosial sebagai suatu bangsa hanya dapat dibangun oleh yang namanya persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Hanya saja kadang kala pendapat seperti ini dinilai oleh kalangan tertentu sebagai upaya negara untuk memerhalus bahasa lain dari upaya penyeragaman dan lebih spesifik lagi disamakan seperti upaya rezim orde baru membungkam gerakan-gerakan politik umat Islam. Sekalipun jika berkata umat Islam, maka menurut saya yang dimaksud sebagai gerakan politik umat Islam hanyalah gerakan politik kelompok radikal yang menginginkan penegakkan syariat Islam di Indonesia, dan belum tentu hal ini didukung oleh tiap-tiap individu muslim di Indonesia.
Ya, belum tentu seluruh orang Islam di Indonesia mendukung penegakkan syariat Islam, maka jika kelompok-kelompok radikal itu seringkali menyuarakan bahwa umat Islam menginginkan penegakkan syariat Islam di Indonesia, maka patutlah kita pertanyakan umat Islam yang mana, atau jangan-jangan hanya simpatisan mereka saja yang seperti itu. Artinya, jika tidak seluruhnya orang Indonesia menginginkan adanya suatu agama yang merajai seluruh sistem politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Maka dapat dilihat bahwa model tradisi keber-agamaan yang akulturatif, eklektik, dan toleran, masih dipertahankan oleh bangsa ini. Kecuali jika tiba-tiba ada revolusi secara politis yang kemudian terjadi huru-hara sehingga kemudian kelompok penegak syariah Islam ini menang baik itu melalui jalur peperangan maupun diplomasi, dan selanjutnya menyeragamkan orang Indonesia untuk menerima satu-satunya sistem yang berasal dari satu agama saja. Dalam arti kata lain di situlah dengan jelas bahwa model elitis telah menjadi model dominan di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H