Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Geopolitics Specialist

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quo Vadis Geopolitik Indonesia

1 April 2024   15:54 Diperbarui: 1 April 2024   15:55 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wilayah NKRI sangat strategis secara geografis   (sumber gambar: istock/Naruedom)

Indonesia menempati posisi geopolitik yang penting dalam dinamika global berkat lokasi geografisnya yang strategis dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia terletak di persimpangan dua samudera dan dua benua, memberikan peluang yang besar untuk berperan aktif di panggung internasional. Selain itu, Indonesia juga kaya akan berbagai macam sumber daya alam yang melimpah. Namun, sayangnya, negara ini belum berhasil mengelola dengan baik kestrategisan posisinya dan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya.

Pada masa pemerintahan Bung Karno, Indonesia berhasil mengelola geopolitiknya dengan baik. Bung Karno menunjukkan keberaniannya dengan menghadapi Belanda dalam konflik di Irian Barat dan dengan sikapnya yang tegas terhadap Amerika Serikat. Dia sadar bahwa jika Irian Barat jatuh ke tangan pihak lain, seperti Belanda, maka pulau Biak dapat menjadi pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, yang akan mengancam kedaulatan Indonesia yang baru saja merdeka. Kemenangan dalam konflik di Irian Barat tidak hanya berarti mempertahankan wilayah, tetapi juga mengamankan modal terbesar Indonesia, yaitu kedaulatan. Wilayah barat Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti minyak di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, serta nikel di Sulawesi. Sementara di Irian Barat terdapat cadangan gas, tembaga, dan emas. Kekayaan ini membuat Indonesia diperhitungkan dan memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan terbesar di Asia.

Sumatera merupakan contoh konkret yang menunjukkan pentingnya peran pulau ini. Selain dikenal karena kekayaan alamnya yang melimpah dan keindahan alam yang eksotis, Sumatera memiliki signifikansi geopolitik yang sangat strategis. Namun, sayangnya, banyak orang Indonesia sendiri yang tidak menyadari hal ini. Sumatera merupakan tempat pertama dan terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan oleh pelaut-pelaut dunia pada masa lalu. Untuk memahami lebih lanjut mengenai sejarah Sumatera, dapat dibaca buku "Sumatera Tempo Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka" yang ditulis oleh Anthony Reid.

Sebagai benteng alami yang menjaga titik-titik masuk maritim ke Asia Timur, Sumatera memiliki peran penting sebagai tempat pertama yang disinggahi oleh para pelaut dalam sejarah pelayaran. Kekayaan emas dari pegunungan dan kapur barus dari hutan-hutan Sumatera menarik perhatian pedagang dari berbagai belahan dunia menuju ke Tanah Emas, dikenal sebagai Suvarna dvipa. Selain itu, Sumatera juga menjadi tempat peninggalan kuno yang mencerminkan pengaruh budaya India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara.

Deli, yang terletak di Sumatera Timur, merupakan contoh lain yang menggambarkan kekayaan wilayah tersebut. Pada tahun 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya "Dari Penjara ke Penjara" telah menggambarkan Deli sebagai surga bagi kaum kapitalis karena keberadaan sumber daya alamnya yang melimpah. Di perbatasan antara Deli dan Aceh, terdapat ladang minyak tanah yang terpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak, serta deposit besi. Singkep, Bangka, dan Belitung, serta Jambi memiliki cadangan timah. Di Riau terdapat bauksit, sedangkan di Asahan, Deli terdapat cadangan alumunium. Bahkan dengan menghubungkan potensi arang di Sawahlunto dan sumber air dari Sungai Asahan, yang memiliki volume air nomor 2 atau nomor 3 di dunia, wilayah Deli dan sekitarnya memiliki potensi untuk mendukung industri berat apa pun. Terlebih lagi, jika dapat dihubungkan dengan cadangan logam besi, timah, dan lain-lain dari wilayah tersebut, Deli dapat menjadi pusat industri berat yang sangat kuat.

Selain itu, data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 39 selat, di antaranya 4 selat yang merupakan titik chockpoint utama dari 9 selat tersibuk di dunia seperti Selat Malaka. Bahkan pada saat ini, hampir setengah dari perdagangan laut komersial global dilakukan melalui perairan Indonesia dan wilayah regionalnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa secara geopolitik, Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi perdagangan internasional, yang juga dilihat oleh negara-negara lain sebagai pengguna jalur strategis ini.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan yang kuat dalam bentuk takdir geopolitik, yang akan mendorongnya menjadi pusat persaingan pengaruh geopolitik negara-negara besar dan menjadi pusat ekonomi global. Dengan luas wilayah yang mendominasi kawasan Asia Tenggara, jumlah penduduk terbanyak, dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia telah menjadi kekuatan utama dan kunci stabilitas keamanan regional. Namun, disayangkan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang geopolitik di negara ini telah terlupakan bahkan diabaikan, sehingga bangsa ini gagal menghargai, menikmati, dan mengelola anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam keberlimpahan rahmat-Nya.

Tatkala abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan energi berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta teori sosial politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan asing. Terjebak gegap diskusi pada tataran permukaan malah melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang di bawah permukaan. Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut oleh asing dan kaum komprador menjadi "industri demokrasi" dengan berbagai manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat, demonstrasi, ego sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya. Maka inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di ruang hakiki (substansi).

Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa hanya sekedar mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan teori yang telah dikendalikan, berputar-putar dalam isu serta terminologi "rekayasa" (demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak kepada kepentingan luar tetapi nihil terhadap historisme yang mutlak harus dipikul dan menjadi tanggung jawab sejarah, sosial dan realitas politik terutama bagi kepentingan nasional saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun