Equality Before The Law atau kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip mendasar dalam sistem hukum yang menegaskan bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan adil dan setara di hadapan hukum. Artikel ini akan melakukan tinjauan terhadap asas kesetaraan ini dengan memperhatikan perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Kesetaraan di hadapan hukum menjadi pilar utama dalam HAM Internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 7 menyatakan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini mencakup hak untuk diperlakukan adil dalam proses peradilan, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau pandangan politik.
Kemudian, pada Pasal 14 (1), dijelaskan bahwa setiap individu memiliki status yang sama di hadapan pengadilan dan lembaga peradilan. Dalam proses menentukan dakwaan pidana terhadap dirinya atau dalam menetapkan hak dan kewajibannya dalam suatu tuntutan hukum, setiap orang berhak mendapatkan pemeriksaan yang adil dan transparan melalui pengadilan yang memiliki kewenangan, independen, tidak berpihak, dan dibentuk sesuai dengan ketentuan hukum.
Hak-hak esensial yang dijamin di sini melibatkan, pertama, prinsip kesetaraan bagi semua individu di hadapan pengadilan, baik dalam konteks persidangan pidana maupun perdata. Kedua, ditekankan perlunya pemeriksaan yang adil dan transparan oleh pengadilan yang memiliki kewenangan hukum. Komite Hak Asasi Manusia menjelaskan dalam kasus Bahamonde v. Equatorial Guinea bahwa konsep kesetaraan di hadapan pengadilan dan majelis hakim mencakup hak akses terhadap pengadilan.
Komite juga menegaskan bahwa situasi yang menghambat usaha individu untuk mendapatkan peradilan yang berkompeten atas semua keluhannya bertentangan dengan jaminan yang tercantum dalam Pasal 14 (1). Selain itu, Komite mengingatkan bahwa Negara-negara Pihak pada Kovenan diharapkan memastikan bahwa sistem peradilan bersifat mandiri, tidak berpihak, dan memiliki kualifikasi yang memadai.
Dalam Hukum Islam, prinsip kesetaraan di hadapan hukum tercermin melalui prinsip keadilan yang berlaku untuk semua individu tanpa memandang status sosial atau latar belakang mereka. Dalam Al-Quran, diungkapkan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama dan memiliki nilai yang setara di hadapan Allah. Nabi Muhammad juga menegaskan signifikansi keadilan dan perlakuan yang adil bagi semua, tanpa memperhatikan perbedaan sosial atau ekonomi.
Seperti yang terdapat dalam petunjuk-petunjuk Al-Qur'an mengenai pelaksanaan keadilan, konsep kesetaraan dan keadilan selalu terkandung di dalamnya. Contohnya terdapat dalam Surat An-Nisa Ayat 105:Â
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi penegak keadilan yang sesungguhnya, bersaksi untuk kebenaran di hadapan Allah, baik itu melibatkan diri sendiri, orang tua, kerabat, ataupun yang miskin atau kaya."
Melakukan keadilan sesuai dengan ajaran Islam merupakan kewajiban kepada Allah, dari mana timbul hak atas kesetaraan dan keadilan bagi seluruh manusia tanpa memandang perbedaan status, ras, gender, dan agama. Dalam surat Al-Maidah Ayat 8, Al-Qur'an menegaskan:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi mereka yang senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan penuh keadilan. Jangan biarkan kebencian terhadap suatu kelompok mendorong kalian untuk bertindak tidak adil. Bersikaplah adil, karena sikap adil lebih mendekatkan diri kepada takwa."
Pernyataan "Hai" yang menjadi awal dari ayat tersebut menunjukkan pentingnya tidak adanya perbedaan status, ras, jenis kelamin, atau agama dalam klaim hak dan pelaksanaan keadilan, yang dijelaskan hingga akhir ayat. Konsep bahwa Mahkota atau Raja tidak pernah bersalah tidak pernah ditemui dalam teori hukum Islam. Nabi sendiri dan para Khalifah setelahnya memperlihatkan prinsip kesetaraan semua individu di hadapan pengadilan, baik dalam kata-kata maupun tindakan mereka.
Suatu contoh konkret dalam hal ini adalah kasus yang diajukan oleh warga bernama Ubay bin Kab melawan Khalifah kedua, Umar bin al-Khattab, pada masa pemerintahannya. Perkara tersebut kemudian dibawa ke Zaid bin Tsabit. Saat Khalifah Umar memasuki ruang sidang, Zaid, yang bertindak sebagai hakim, berdiri sebagai tanda penghormatan kepada Umar. Namun, Umar menegur Zaid dengan mengatakan, "Itu adalah tindakan ketidakadilan pertamamu terhadap pihak lain dalam perkara ini."
Setelah pemeriksaan, ternyata Ubay tidak dapat menyajikan bukti yang cukup untuk menguatkan tuntutannya terhadap Umar. Namun, Ubay kemudian mengajukan permintaan, sesuai dengan ketentuan dalam proses pembuktian menurut hukum Islam, agar Umar bersumpah untuk menegaskan penolakannya terhadap dakwaan tersebut. Zaid, karena menghormati Khalifah, kembali meminta Ubay untuk melepaskan Umar dari kewajiban semacam itu, yakin bahwa Khalifah tidak mungkin berbohong. Khalifah Umar merasa kesal terhadap sikap pilih kasih ini dan mengatakan kepada Zaid, "Jika orang biasa dan Umar tidak diperlakukan sama di hadapanmu, itu berarti kau tidak pantas menjadi hakim."
Sebagai contoh lain, pada suatu waktu Khalifah Umar mengirimkan pesan kepada salah satu hakimnya, meminta agar hakim tersebut menjalankan tugasnya dengan prinsip berikut: Pastikan kesetaraan semua individu di hadapanmu dalam mengadili sehingga tidak ada golongan bangsawan yang mendapatkan keberpihakan darimu dan tidak ada rakyat jelata yang merasa kehilangan harapan terhadap keadilanmu. Oleh karena itu, terdapat kesepakatan di kalangan pakar hukum Islam tentang kewajiban hakim untuk memastikan keadilan dan kesetaraan bagi semua pihak dalam setiap perkara.
Dalam Komentar Umum 28, Komite Hak Asasi Manusia menyoroti isu seputar kesaksian perempuan yang dianggap setara dengan laki-laki sesuai dengan Pasal 14. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan kesaksian perempuan dalam konteks kesetaraan hak terhadap proses pemeriksaan yang adil menurut hukum Islam.
Peraturan mengenai kesaksian menurut hukum Islam dalam beberapa situasi mensyaratkan adanya dua laki-laki sebagai saksi atau alternatif lain, yaitu seorang laki-laki dan dua perempuan (dengan dua perempuan menggantikan satu laki-laki). Landasan aturan ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an pada surat Al-Baqarah Ayat 282.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ketika kalian melakukan transaksi yang tidak dilakukan secara tunai untuk jangka waktu tertentu, maka tulislah transaksi tersebut. Seorang penulis di antara kalian hendaknya menuliskannya dengan akurat. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkan, maka hendaklah ia menuliskan, dan orang yang berutang hendaklah mengimlakkan isi tulisan tersebut. Bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu, dan janganlah mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berutang lemah akalnya, atau keadaannya lemah, atau tidak mampu mengimlakkan, maka walinya harus mengimlakkan dengan jujur. Saksikanlah transaksi tersebut dengan dua orang saksi dari kalangan lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua lelaki, boleh juga satu lelaki dan dua perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, agar jika seorang lupa, yang satu dapat mengingatkannya."
Nampaknya ayat di atas menggantikan kesaksian seorang laki-laki dengan dua perempuan, menimbulkan isu seputar kesetaraan dan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional. Meskipun ketentuan ini secara tradisional diterapkan secara umum dalam semua kesaksian menurut hukum Islam, beberapa sarjana Muslim berpendapat bahwa aturan ini tidak berlaku secara universal melainkan hanya terbatas pada kesaksian dalam transaksi bisnis, utang-piutang, dan perjanjian.
Pandangan mereka adalah bahwa aturan tersebut lebih bersifat sebagai langkah pencegahan daripada diskriminasi, karena transaksi-transaksi semacam itu biasanya jarang dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, perempuan umumnya memiliki pengalaman yang lebih sedikit dalam aspek-aspek tersebut dan lebih mungkin membuat kesalahan dalam memberikan kesaksian terkait hal tersebut.
Dengan demikian, argumen untuk menuntut dua perempuan sebagai pengganti seorang laki-laki adalah jika satu orang memberikan keterangan yang keliru, yang lain dapat mengingatkannya, sehingga orang dapat melihat bahwa dalam semua ketentuan yang terkait dengan persyaratan kesaksian, kecuali dalam transaksi keuangan dan bisnis, Al-Qur'an tidak membuat perbedaan antara lelaki dan wanita. Contohnya, untuk perkara perceraian, terdapat ketentuan dalam Al-Qur'an pada Surat At-Talaq Ayat 1-2:
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istri kamu, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu."
Sama halnya dalam memberikan kesaksian mengenai perbuatan zina seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Nisa Ayat 15:
Artinya: "Dan terhadap wanita-wanita yang melakukan perbuatan zina, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Setelah mereka memberikan kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita tersebut dalam rumah sampai mencapai akhir umurnya atau sampai Allah memberikan jalan lain bagi mereka."
Dalam semua hal lainnya, istilah umum "dua orang adil" atau "saksi-saksi" digunakan tanpa membedakan gender, seperti yang digunakan dalam contoh pertama terkait transaksi bisnis. Oleh karena itu, dapat diperdebatkan bahwa perbedaan ketentuan terkait transaksi komersial dengan ketentuan saksi lainnya muncul karena posisi tradisional perempuan dalam masyarakat, bukan karena langsung tertera dalam teks Al-Qur'an.
Begitu juga, terdapat kesepakatan di kalangan cendekiawan fiqih bahwa kesaksian seorang perempuan dapat diterima dalam perkara-perkara di mana pengetahuan laki-laki kurang memadai atau tidak mungkin bagi laki-laki untuk memiliki pengetahuan tentangnya sama sekali. El-Bahnassawi menyimpulkan bahwa dalam Islam, perbedaan jenis kelamin diakui sebagai bagian dari kodrat alamiah mereka masing-masing, meskipun diakui bahwa keduanya berasal dari satu asal dan esensi yang sama. Ini tidak menunjukkan ketidaksetaraan terhadap perempuan, tetapi secara langsung berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan pemeliharaan keadilan.
Jika hukum memperlakukan kesaksian perempuan yang kurang berpengalaman dalam bidang bisnis dan komersial secara setara dengan laki-laki, itu akan bertentangan dengan tujuan keadilan dan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian. Jelas bahwa perempuan tidak akan memperoleh keuntungan atau keunggulan apa pun dari kebijakan ini. Meskipun secara umum mengakui prinsip kesetaraan, hukum Islam juga mempertimbangkan kebutuhan khusus masyarakat yang muncul dalam konteks tertentu.
Keinginan utamanya adalah mewujudkan keadilan substansial. Dengan demikian, petunjuk Al-Qur'an mengenai penggunaan dua perempuan sebagai pengganti satu laki-laki hanya berlaku dalam transaksi bisnis ketika perempuan memiliki keterbatasan pengalaman dibandingkan laki-laki. Dengan masuknya perempuan ke dunia bisnis dan penguasaan mereka atas pengalaman profesional yang setara dengan laki-laki di sektor bisnis, muncul pertanyaan apakah aturan dua saksi perempuan sebagai pengganti satu laki-laki dapat dicabut jika hal itu tidak akan merugikan keadilan. Argumen untuk menegakkan keadilan substansial mungkin memengaruhi negara-negara Muslim untuk mengadopsi interpretasi yang lebih liberal terhadap syari'ah dengan meninggalkan aturan ini demi kebutuhan atau kepentingan keadilan.
Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Ansar Burney vs. Federation of Pakistan, di mana Mahkamah Syariat Federal Pakistan memberikan contoh beberapa situasi di mana mungkin hanya dibutuhkan satu saksi perempuan. Negara-negara yang mempertahankan pendekatan tradisional yang ketat mungkin tidak akan terpengaruh oleh argumen yang sama dan dapat dianggap melanggar Pasal 14 (1) sebagaimana yang diinterpretasikan oleh Komite Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 14 (1) umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan Pasal 19 Deklarasi Kairo dari Organisasi Konferensi Islam tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam yang menetapkan bahwa: (a) Semua individu memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa memandang perbedaan antara penguasa dan yang dikuasai; (b) Hak untuk mendapatkan keadilan dijamin untuk semua orang.
Prinsip Equality Before The Law (Persamaan dihadapan Hukum) merupakan fondasi yang penting dalam menciptakan masyarakat yang adil dan inklusif, baik dalam konteks Hukum Islam maupun HAM Internasional. Dengan mengakui dan mempromosikan kesetaraan di hadapan hukum, kita dapat memastikan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk diakui, dihormati, dan dilindungi tanpa diskriminasi. Dalam menjaga prinsip ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih beradab bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H