Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Asas Resiprositas dalam Kepemimpinan Prophetik di Era Disrupsi

3 Februari 2024   13:16 Diperbarui: 3 Februari 2024   13:20 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemimpinan dalam suatu organisasi tidak digunakan sebagai sarana untuk mencari eksistensi, popularitas, atau mengumpulkan kekayaan, sebagaimana dijelaskan oleh Robbin "Tujuan kepemimpinan adalah untuk menghubungkan dan melibatkan sejumlah orang pada tingkat yang sesuai guna mencapai tujuan bersama." Kepemimpinan merupakan cara yang digunakan oleh pemimpin untuk menjalankan kerjasama yang produktif dengan pendukung atau yang dipimpinnya.

Konsep kepemimpinan mencakup berbagai aspek, mulai dari definisi hingga hal-hal lain yang terkait dengan kepemimpinan. Prof. Kadamen, SJ, dan Drs. Yusuf Udaya mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni atau proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok. A Robert Baron juga menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu memberikan pengaruh terhadap anggota kelompok lain terkait pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh kelompok atau organisasi.

Dalam inti kepemimpinan terdapat tiga aspek yang perlu mendapat perhatian:

Aspek manusia, yang mencakup peran manusia sebagai pemimpin dan manusia yang dipimpin. Baik pemimpin maupun yang dipimpin adalah individu-individu manusia yang saling terhubung satu sama lain dalam konteks kepemimpinan. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa esensi kepemimpinan berkaitan dengan unsur manusia.

Aspek sarana, yang merujuk pada alat atau teknik yang digunakan dalam pelaksanaan kepemimpinan. Dalam mengelola hubungan antarmanusia, baik pemimpin maupun yang dipimpin harus memiliki sarana yang mendukung pelaksanaan kegiatan dalam organisasi, seperti pengetahuan yang luas dan pengalaman yang substansial. Oleh karena itu, persoalan kepemimpinan melibatkan diskusi mengenai sarana.

Aspek tujuan, yang merupakan langkah terakhir yang menentukan arah gerak kelompok manusia menuju suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa tujuan merupakan bagian integral dari kepemimpinan.

Ketiga unsur tersebut saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain dalam pelaksanaan kepemimpinan. Oleh karena itu, inti dari kepemimpinan yang pertama membahas aspek-aspek manusia, sarana, dan tujuan. Kemudian, esensi kedua melibatkan Asas Resiprositas, seperti yang dijelaskan oleh Tolib Efendi S.H., M.H. Menurutnya, Asas Resiprositas adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu lainnya atau antara negara satu dengan negara lainnya. Istilah ini sering digunakan dalam konteks Ekstradisi Hukum Pidana Internasional, dan mencakup makna bahwa jika suatu negara menginginkan perlakuan baik dari negara lain, maka negara tersebut juga harus memberikan perlakuan baik kepada negara lain.

Asas resiprositas memiliki keterkaitan yang erat dengan kepemimpinan, seperti yang terlihat dalam definisi kepemimpinan oleh A Robert Baron, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu memengaruhi anggota kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh kelompok atau organisasi. Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa kepemimpinan melibatkan pengarahan sumber daya dan pengaruh terhadap orang lain agar dapat bekerja secara produktif guna mencapai tujuan bersama.

Dalam konteks kepemimpinan, makna yang terkandung mengacu pada pengarahan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengikut atau yang dipimpin harus memiliki semangat dan menunjukkan peran kepemimpinan. Hal ini berarti bahwa yang dipimpin dapat memengaruhi pemimpinnya. Oleh karena itu, kepemimpinan menunjukkan bahwa proses saling mempengaruhi terjadi antara pemimpin sebagai pelaku dan yang dipimpin sebagai pendukung, menciptakan hubungan timbal balik dua arah, yaitu Asas resiprositas.

Asas resiprositas dalam konteks kepemimpinan memiliki manfaat besar untuk kemajuan organisasi. Dampaknya adalah bahwa seorang pemimpin tidak bertindak sewenang-wenang dalam mengelola organisasi, dan yang dipimpin tidak akan menyimpang dari kebijakan pemimpin. Oleh karena itu, Asas resiprositas akan membangun solidaritas dalam organisasi, menciptakan hubungan saling mendukung untuk kemajuan bersama.Dalam perkembangan zaman kontemporer ini, kita sedang berhadapan dengan suatu tatanan kehidupan baru yakni era disrupsi. Segala aspek kehidupan zaman sekarang, menitik beratkan pada teknologi kecepatan yang serba instan untuk membantu kehidupan manusia dalam segala aktivitasnya. Hal semacam ini sangat berpengaruh bagi ekonomi, sosial dan politik, salah satunya dalam segi kepemimpinan. Perkembangan zaman yang semacam ini membawa dampak positif dan negatif terhadap kehidupan manusia.

Kepemimpinan di era disrupsi ini, haruslah senantiasa memiliki sifat transformatif, yang artinya seorang pemimpin haruslah membawa perubahan serta adaptif bagi organisasinya agar senantiasa organisasi yang dipimpinnya terus relevan dengan perkembangan zaman. Seperti kata D'Souza "seorang pemimpin tanpa bertindak transformatif, maka dapat dipastikan organisasi yang dipimpinnya akan mengalami kematian."

Kepemimpinan

Dalam konteks Kepemimpinan, terdapat dua aspek yang perlu dibedakan, yaitu kepemimpinan itu sendiri dan sosok pemimpin. Perbedaan antara keduanya, menurut John Calvin, adalah bahwa "pemimpin adalah individu yang melibatkan diri dalam proses mempengaruhi sebuah kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, sedangkan kepemimpinan adalah sifat yang dimanifestasikan oleh individu yang bertindak sebagai pemimpin untuk memengaruhi anggota kelompoknya agar mencapai tujuan yang telah disepakati bersama." Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa pemimpin adalah individu yang memimpin, sementara kepemimpinan merujuk pada metode kepemimpinan.

Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, dan ada beberapa pendekatan awal dalam pemahaman mengenai asal-usul pemimpin. Pertama, terdapat Teori Genetik, yang menyatakan bahwa seorang pemimpin lahir dengan bakat kepemimpinan dari keturunan, bukan hasil pembentukan. Kedua, Teori Sosial mengusulkan pandangan sebaliknya, yaitu bahwa pemimpin dapat diciptakan melalui pendidikan, bukan hanya karena faktor bawaan. Ketiga, Teori Ekologis menggabungkan elemen-elemen dari Teori Genetik dan Sosial, mengklaim bahwa bakat kepemimpinan harus dikembangkan melalui pengalaman dan motivasi sepanjang hidup.

Semua individu memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, dan manusia pada dasarnya memiliki kebebasan untuk memilih jalur hidup guna mengembangkan potensi yang dimilikinya. Poin esensial untuk menjadi pemimpin melibatkan kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai pandangan kelompok, sambil mempertahankan sifat-sifat yang kokoh sebagai bagian dari kepemimpinan.

Analisis perkembangan zaman Disrupsi Teknologi

Disrupsi teknologi menurut Cristensen, dapat didefinisikan sebagai "suatu pergeseran teknologi yang mengguncang industri atau produk yang sudah mapan dan melahirkan industri baru." Istilah ini tetap menjadi panduan makna sejak awal hingga saat ini. Jika dikaitkan dengan abad ke-21, era disrupsi teknologi menggambarkan perubahan teknologi yang terjadi secara terus-menerus dalam waktu singkat dan tanpa batas yang pasti.

Era disrupsi teknologi ini terus-menerus berlangsung dalam kehidupan manusia saat ini dan sangat memengaruhi serta mengubah cara aktivitas manusia dilakukan dalam ruang lingkup, kompleksitas, dan transformasi kehidupan manusia dibandingkan dengan masa sebelumnya. Era ini sering disebut sebagai "Era Revolusi Teknologi." Oleh karena itu, manusia perlu memiliki keterampilan untuk meramalkan perubahan cepat yang akan terjadi di masa depan.

Contoh konkret dari disrupsi teknologi mencakup pergeseran dari penggunaan mesin ketik ke personal komputer (PC), dari telepon tetap ke telepon seluler, dari surat pos ke pesan singkat (SMS), dan dari kamera saku ke kamera yang terdapat dalam smartphone. Keberadaan smartphone juga membawa kemunculan fitur-fitur dan aplikasi yang signifikan, memudahkan manusia dalam mencari dan mengakses segala informasi. Oleh karena itu, peran teknologi digital semakin mengubah pola hidup manusia.

Iswan dan Bahar menyatakan bahwa disrupsi teknologi telah hadir dengan adanya industri-industri berbasis digital dan online. Saat ini, manusia sangat bergantung pada smartphone, yang awalnya hanya digunakan untuk menyampaikan kabar dan kondisi keluarga melalui telepon dan SMS. Sekarang, smartphone telah menjadi alat untuk bertukar informasi melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, serta layanan panggilan video seperti WhatsApp, Skype, atau Google Hangout. Selain itu, mereka menggunakan ponsel pintar untuk membaca berita melalui koran online seperti CNN.com atau Tempo.co, mengunduh artikel jurnal terbaru dari Google Scholar, berbelanja dan menjual barang melalui aplikasi seperti Shopee atau Tokopedia, serta memesan layanan ojek online melalui Gojek, Grab, dan sebagainya. Berkembangnya teknologi keuangan baru, seperti internet banking, mobile banking, e-commerce, dan sistem kredit berbasis peer-to-peer lending, telah mengurangi peran tradisional bank. Semua ini menyebabkan manusia menjalankan aktivitas ekonomi dengan metode baru yang lebih efektif dan efisien.

Penggambaran era di atas tersebut telah ditulis oleh John Naisbitt dalam bukunya Abdul Azis di masa yang akan datang disebut sebagai "Gejala Mabuk Teknologi". Ciri-ciri dari klasifikasinya sebagai berikut:

  • Lebih menyukai penyelesaian masalah secara cepat, dari masalah agama hingga masalah perut.
  • Khawatir sekaligus memuja teknologi.
  • Tidak dapat membedakan antara yang nyata dengan maya.
  • Memaklumi kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
  • Mencintai teknologi dalam wujud yang mudah digenggam.
  • Terdapat kehidupan yang berjarak dan renggang. Keenam ciri ini mewarnai dunia digital saat ini yang membawa kepada kejutan budaya yaitu budaya populer.

Perubahan teknologi yang cepat memiliki dua sisi, di mana satu sisi membawa manfaat tetapi juga potensi bahaya. Analoginya mirip dengan sebilah pisau yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, namun sekaligus dapat menjadi senjata berbahaya. Kecepatan perubahan teknologi menciptakan kejutan budaya yang dapat membuat manusia merasa bingung.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa manfaat era disrupsi teknologi ini sangat luas dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Meskipun manfaatnya besar dan manusia semakin bergantung pada teknologi, perlu diakui bahwa ada risiko bahaya dalam dunia digital yang harus diakui dan ditangani dengan hati-hati.

  • Informasi dan pengetahuan yang dimiliki saat ini tidak tersaring lagi sehingga maraknya berita yang tidak sesuai, palsu (hoaks), pornografi dan kekerasan di mana semuanya itu sudah tidak ada yang bisa menyaringnya dengan cara bagaimanapun.
  • Muncul akulturasi terhadap budaya di kalangan generasi milenial yang dibuktikan dengan berbagai bahasa dan istilah-istilah yang baru seperti: selfie, panjat sosial (social climber), pamer diri (eksibisionisme) dan banyak lagi istilah lainnya. Hal semacam inilah yang menjadi penyekat antara generasi muda dengan generasi tua dalam ihwal berkomunikasi.
  • Terdapatnya budaya saling menghujat. Zaman sekarang siapapun dapat melakukan dosa dan kebaikan hanya dengan menggunakan jari. Yang menjadi hal yang paling memalukan adalah sekarang seseorang tidak lagi merasa memiliki etika dalam berkomentar terhadap orang lain, entah terhadap pribadi orang lain maupun karyanya. Budaya saling menghujat dan mencela sudah menjerat netizen di zaman ini, fanatik terhadap pendapat dan panutannya, menyebabkan kisruh dan perang hujatan terjadi dalam kolom komentar sosial media.

Terlalu amat banyak apabila saya kemukakan dampak negatif dari dunia digital yang terdapat dalam era disrupsi ini. Hal hal tersebut adalah sebuah penyakit baru di era disruptip ini dan memerlukan obat dan terapi akan penyembuhannya sangat kompleks serta memerlukan dukungan semua pihak untuk penyembuhannya. Disinilah peran Kepemimpinan harus ditimbulkan, untuk menunjang upaya pemberantasan tantangan budaya dan dasmpak negatif dalam perkembangan zaman ini.

Kepemimpinan prophetik sebagai jawaban problematika di era disrupsi teknologi

Istilah kepemimpinan prophetik merujuk pada sifat kerasulan atau kenabian. Kepemimpinan profetik dapat diartikan melalui dua definisi yang mencakup beberapa terminologi. Pertama, dimensi kepemimpinan profetik sejalan dengan kepemimpinan umumnya, diidentifikasi dengan kemampuan memotivasi dan memimpin anggota untuk mencapai tujuan bersama. Kedua, dimensi profetik menjadi krusial karena kepemimpinan harus didasarkan pada sifat dan karakter seorang rasul atau nabi, setidaknya sejalan dengan upaya mewujudkan visi dan misi kenabian.

Ada empat komponen dalam sifat kepemimpinan Prophetik, seperti yang dijelaskan oleh Umiarso (2018:45). Pertama adalah sifat Shidiq, yang mengacu pada kejujuran. Komponen ini menekankan konsep dasar kepemimpinan prophetik yang mencakup nilai-nilai kebenaran, sebagaimana terdapat dalam Q.S Maryam ayat 50:

"Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik dan mulia."

Komponen kedua adalah Amanah, yang menyoroti tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan Prophetik menekankan pentingnya amanah yang harus diemban oleh pemimpin agar bisa dirasakan oleh yang dipimpin. Hal ini ditegaskan dalam Q.S As syu'ara ayat 106-107:

"Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu."

Komponen ketiga adalah Tabligh. Kepemimpinan profetik menekankan komunikasi yang baik. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan yang dipimpinnya. Allah menegaskan hal ini dalam Q.S Al Maidah ayat 57:

"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir."

Komponen terakhir adalah Fathanah, yang mengacu pada konsep kecerdasan dalam kepemimpinan profetik. Seorang pemimpin harus senantiasa cerdas agar mampu menyelesaikan persoalan dalam menjalankan kepemimpinan. Allah berfirman dalam Q.S Al An'am ayat 83:

"Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui."

Kepemimpinan Prophetik memiliki ciri otentik yang dijunjung tinggi yakni shidik, amanah, tabligh dan fathonah. Dari kesemua ciri otentik tersebut, maka kepemimpinan prophetik mampu menjawab tantangan di setiap zamannya. Seperti halnya yang telah dicontohkan Rasullah pada zamannya, yang mana beliau mampu diterima oleh umatnya karena beliau mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada pada waktu itu.

Inilah bentuk kepemimpinan yang dibutuhkan dalam menghadapi problematika perkembangan zaman yang terjadi di era disrupsi ini. Nilai dasar shidiq, amanah, tabligh dan fhathanah merupakan nilai yang mutlak dalam menjalankan kepemimpinan. Model kepemimpinan inilah yang telah dicontohkan oleh Rasullah untuk memimpin organisasi yang dinamakan pemerintahanan di madinah. Secara mendalam dapat kita lihat bahwasanya kepemimpinan prophetik ini sangat cocok untuk di implementasikan dimanapun guna mampu menjawab perkembangan zaman di era disrupsi.

Asas Resiprositas sebagai penunjang kepemimpinan prophetik dalam menjawab perkembangan zaman di era disrupsi teknologi

Kepemimpinan tidak hanya terkait dengan posisi ketua atau pemimpin semata, tetapi seharusnya dimiliki oleh setiap individu yang terlibat, baik sebagai bawahan maupun atasan. Asas resiprositas atau hubungan timbal balik memiliki peran penting dalam dinamika kepemimpinan. Asas resiprositas menciptakan hubungan saling menguntungkan antara individu-individu atau negara-negara, dan konsep ini sering dihubungkan dengan Ekstradiksi Hukum Pidana Internasional.

Dalam konteks kepemimpinan, Asas resiprositas menjadi landasan berpikir yang esensial, sementara resiprositas sendiri mencerminkan interaksi timbal balik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki pemahaman yang kuat tentang hubungan timbal balik antara dirinya dan yang dipimpin, sesuai dengan tugas yang diemban dalam kerangka konstitusi. Asas resiprositas perlu diintegrasikan dengan kepemimpinan untuk memengaruhi individu yang bekerja sama. Dengan menjunjung tinggi Asas resiprositas dalam kepemimpinan, keselarasan dapat tercipta.

Adanya hubungan yang positif antara pemimpin dan yang dipimpin, dengan saling mempengaruhi dalam hal kebenaran, mendorong perubahan positif dalam etos kerja menuju kemajuan. Oleh karena itu, kepemimpinan prophetik harus mematuhi prinsip Asas resiprositas dalam menjalankan tugasnya. Dengan semua orang menjalin hubungan baik dan mempengaruhi satu sama lain, maka penyelesaian masalah, termasuk tantangan perkembangan era disrupsi, dapat tercapai secara harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun