Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinamika Geopolitik Timur Tengah

9 November 2023   13:41 Diperbarui: 9 November 2023   14:00 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Koran Jakarta.com

Kawasan Timur Tengah seringkali terlihat sebagai daerah dengan tingkat ketidakstabilan yang tinggi. Menurut Global Peace Index 2022, Timur Tengah memiliki peringkat perdamaian yang paling rendah, dengan skor 2,5 dari skala 5. Pada tahun sebelumnya, kawasan ini juga berada pada peringkat terbawah dengan skor 2,3. Tingginya ketidakstabilan di Timur Tengah ini disebabkan oleh adanya sejumlah konflik bersenjata yang terjadi secara bersamaan di wilayah tersebut. Saat ini, terdapat empat konflik bersenjata internal yang melibatkan intervensi kekuatan global atau regional di Timur Tengah, yaitu di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman, serta satu konflik antarnegara, yakni konflik antara Palestina dan Israel, yang masih belum menemukan solusi akhir.

Salah satu faktor yang memicu ketidakstabilan di Timur Tengah adalah campur tangan yang kuat dari kekuatan global di daerah ini. Keterlibatan mereka di Timur Tengah tidak dapat dipisahkan dari pentingnya posisi strategis Timur Tengah sebagai persilangan utama antara tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Timur Tengah juga memberikan akses ke perairan hangat yang penting bagi Rusia, serta melibatkan Terusan Suez yang berperan penting dalam jalur pelayaran dari Eropa ke Asia. Kedudukan strategis kawasan ini terlihat jelas dalam sebutan "Timur Tengah" itu sendiri. Istilah ini diperkenalkan oleh Mahan untuk merujuk pada wilayah yang dianggapnya strategis dalam menjaga keamanan jalur pelayaran dan komunikasi antara Mesir (Timur Dekat) dan India (Timur Jauh).

Penamaan dan identifikasi wilayah di Timur Tengah, pada kenyataannya, tidak mencerminkan situasi sebenarnya di lapangan karena hanya didasarkan pada pandangan geopolitik Barat, yang sering disebut sebagai geopolitik kolonial. Konsep ini terus berlanjut dalam periode selanjutnya. Sebagai contoh, penentuan batas-batas negara-negara di Timur Tengah setelah jatuhnya Kekaisaran Utsmaniyah oleh Inggris dan Perancis menghasilkan negara-negara modern yang ada saat ini tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan sejarah yang beragam di dalamnya. Akibatnya, negara-negara yang dibentuk tersebut mengalami konflik antar-grup, baik berdasarkan etnis maupun sekte. Pembentukan negara Israel, sebagai contoh, tidak mempertimbangkan keberadaan komunitas Arab-Palestina yang telah lama tinggal di wilayah Mandat Palestina, yang menyebabkan konflik antara penduduk Yahudi dan Arab-Palestina, yang sekarang lebih dikenal sebagai konflik Israel-Palestina. Contoh lain adalah pembentukan negara Lebanon, yang tidak memperhitungkan sebaran demografis penduduknya dan ketidaksetaraan kepentingan di antara berbagai kelompok penduduk, sehingga menghasilkan konflik antar-grup yang berlarut-larut.

Dalam era yang lebih modern, intervensi kekuatan-kekuatan global di Timur Tengah juga didorong oleh kepemilikan sumber daya energi yang sangat melimpah. BP Statistical Review of World Energy mencatat bahwa Timur Tengah memiliki sekitar 47,3% dari cadangan minyak dunia dan 42,8% dari cadangan gas dunia. Angka-angka ini jauh melampaui wilayah lain seperti Amerika Tengah dan Selatan yang memiliki sekitar 19,4% dari cadangan minyak dunia (kedua terbesar setelah Timur Tengah) serta Eropa-Eurasia yang memiliki sekitar 30,4% dari cadangan gas dunia (kedua terbesar untuk cadangan gas). Selain itu, produksi minyak di Timur Tengah juga merupakan yang terbesar di dunia, berkontribusi sekitar 32,4% dari total produksi minyak dunia. Sementara produksi gas Timur Tengah hanya mencapai sekitar 17,4% dari total produksi gas dunia, masih kalah dari Amerika Utara (28,1%) dan Eropa-Eurasia (27,8%), konsumsi gas mereka hanya mencapai sekitar 14,1% dari total konsumsi gas dunia, sedangkan konsumsi gas di Amerika Utara mencapai 28,1% dan di Eropa-Eurasia mencapai 28,8%. Kekayaan cadangan dan produksi energi di kawasan Timur Tengah ini mengakibatkan Klare meramalkan bahwa kawasan ini akan menjadi salah satu tempat di mana konflik masa depan mungkin akan muncul.

Kondisi ketidakstabilan tersebut menyebabkan Cohen mengklasifikasikan Timur Tengah sebagai "shatterbelt," yaitu wilayah yang gejalanya ditandai oleh tingkat ketidakstabilan yang tinggi disebabkan oleh dua faktor utama: intervensi kuat dari luar dan perpecahan internal yang parah. Tingkat ketidakstabilan yang tinggi di Timur Tengah berdampak pada banyak negara, termasuk Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun