Adanya himbauan Menteri PAN, Yuddy Chrisnandy, dengan nomor surat B/3903/M. PANRB/12/2015, tentang himbauan kepada seluruh guru untuk tidak mengikuti perayaan hari guru 2015 di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, cukup membuat kaget kalangan guru. Khususnya, organisasi yang menaungi para guru yaitu PGRI. Organisasi guru yang telah berusia 70 tahun tersebut, wajar apabila mempertanyakan alasan menpan melarang guru ikut kegiatan puncak perayaan hari ulang tahunnya tersebut. Sehingga, cukup beralasan, apabila ada anggapan dari sebagian guru, bahwa pemerintah ingin membatasi “kemerdekaan” profesi guru dalam berorganisasi. Padahal, guru adalah elemen masyarakat yang juga mengabdi kepada bangsa dan negara. Bahkan, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Anies Baswedan, dalam pembukan simposium guru di Istora Senayan, Jakarta, mengatakan "Guru mulia karena kehadirannya menginspirasi dan menggerakkan. Profesi guru adalah profesi yang mulia”. Beliau secara gamblang menyebut guru adalah profesi mulia. Artinya, guru merupakan manusia terhormat dan patut untuk dihormati.
Namun, menjadi ironis, ketika kemuliaan jasa guru tidak disertai apresiasi yang baik dari pihak-pihak yang berkepentingan. Adanya larangan bagi guru untuk tidak mengikuti pertemuan pada tanggal 13 Desember nanti, bisa menjadi keprihatinan bagi para guru di Indonesia. Larangan bagi guru PNS, mungkin masih bisa diterima logika karena secara administrasi birokrasi bertanggung jawab kepada pemerintah. Walaupun, secara moral tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat. Akan tetapi, tidak dipungkiri, guru di Indonesia tidak hanya yang berstatus pegawai negeri sipil saja, melainkan banyak berstatus honorer apalagi disekolah swasta, mereka bertanggung jawab kepada pihak yayasan. Artinya, secara administratif mereka dibawah pihak yayasan.
Kebebasan berkumpul dan berserikat telah dijamin oleh UUD 1945. Menurut Jimly Asshidiqie, mantan ketua mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa prinsip kebebasan atau kemerdekaan berserikat ditentukan dalam Pasal 28 UUD 1945 (pra reformasi) yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan pasal ini setelah reformasi, dipertegas lagi melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam Pasal 28E, ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Inilah fakta hukum, jaminan konstitusionalnya jelas. Artinya, ketika guru ingin memiliki sebuah organisasi yang akan mewadahi aspirasinya, jelas tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pasca reformasi, era keterbukaan semakin gegap gempita, tidak ada sekat, tidak ada batas bagi semua lapisan warga untuk menyuarakan aspirasinya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat mendapat apresiasi diruang terbuka, dimanapun, dan kapanpun, selama ada dalam batas-batas etika kesopanan dan kepatutan serta hukum yang berlaku. Sekarang ini, masyarakat sudah tidak tabu lagi ketika menyuarakan aspirasi melalui berbagai media. Bisa melalui media radio, cetak, maupun elektronik. Lantas, agak aneh apabila di zaman era kebebasan ini, masih ada organisasi atau kelompok masyarakat atau profesi apa saja, yang dilarang untuk mendirikan sebuah organisasi sebagai media untuk menyalurkan aspirasi dan mengadvokasi hak-haknya.
Seperti halnya organisasi lain, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) adalah sebuah organisasi yang berasaskan pancasila dan memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang jelas, dan anggota pun jelas bahkan masyarakat terdidik. Akan tetapi, ketika mereka ingin berkumpul sebagai bentuk loyalitas terhadap organisasi yang mewadahinya, terkesan dihalangi dan dihambat. Pertanyaannya adalah, apakah eksistensi PGRI menimbulkan resistensi bagi negara? Dan apakah berkumpulnya guru menjadi ancaman stabilitas negara? Barangkali, inilah pertanyaan yang harus dijawab segera oleh pemerintah kepada khalayak khususnya para guru, agar tidak terjadi “fitnah” dan tidak saling mencurigai antar anak bangsa. Sehingga tidak menimbulkan gejolak di akar rumput, khususnya para guru dalam menyikapi himbauan dari pemerintah tersebut. Dan bagi PGRI, selayaknya melakukan dialog secara arif dan efektif dengan pihak-pihak yang berwenang terkait masalah kegiatan perayaan tersebut. Agar permasalahn ini menjadi jelas dan tidak semakin liar. Apalagi, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai komoditas politik. Bisa jadi, adanya surat himbauan tersebut karena terjadinya miskomunikasi antar pihak-pihak yang berkepentingan.
Alhasil, apapun alasannya, kiranya agak kurang elok apabila guru sebagai masyarakat terdidik, dilarang untuk sekedar berkumpul, dan mengapresiasi kelahiran organisasinya. Semoga, pemerintah maupun PGRI dalam menyikapi masalah ini bisa lebih bijak dan proporsional. Aamiin. ##
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H