Rasa syukur yang mendalam mendengarkan kabar Haris Azhar dan Fatia Maulidia divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dua aktivis HAM ini hampir saja mendekam di jeruji besi gara-gara pasal pencemaran nama baik.
Sesungguhnya agak mengerikan sehingga dalam tulisan ini pun saya enggan untuk menjelaskan duduk persoalan, jangan sampai tulisan ini akan kelepasan dan menjadi bahan laporan pencemaran nama baik terbaru, dan korbannya adalah saya sendiri.
Jelasnya bahwa kasus Haris dan Fatia adalah cerminan darurat kebebasan berpendapat di Indonesia. Seseorang dapat langsung dilaporkan apabila dianggap mencoreng nama baik, tanpa harus diselesaikan lewat forum klarifikasi atau diskusi.
Seseorang dapat langsung memilih jalan pelaporan, negara akan memproses hukum apabila bukti cukup. Tetapi sesungguhnya yang diharapkan bahwa si pelapor hendaknya berjiwa besar, memposisikan kritik sebagai upaya perbaikan bukannya penjatuhan karakter.
Tetapi dapat dimaklumi bahwa tabiat kekuasaan pada hakikatnya adalah anti kritik. Kasus Haris Azhar dan Fatia hanya merupakan salah satunya, mengeluarkan kata-kata atau wacana dan langsung diperkarakan.
Ada beberapa yang pandai dalam pemilihan kata, seperti misalnya seorang pengamat politik Indonesia era ini, Rocky Gerung, mampu menghindar dari delik, segenap argumentasi yang diucapkan tidak pernah bisa nyantol ke pasal pencemaran nama baik.
Sebagiannya lagi dapat menghindari delik bukan karena lihai dalam mempermainkan kosa kata seperti Rocky Gerung, tetapi harus berlindung di balik kata-kata seperti 'Wakanda' dan 'Konoha'.Â
Belakangan saya menemukan salah seorang pendukung Capres menggunakan kata 'Uganda Utara' demi menyamarkan kata-kata yang bisa membuatnya dilaporkan.
Dalam debat Capres dan Cawapres hal ini pun bisa terjadi. Tetapi sikap anti kritik tidak mesti datang dari Pasangan Calon masing-masing, bisa jadi juga berasal para pendukung, tim sukses, bahkan simpatisan.
Media sosial X atau Instagram kerap menjadi tempat para pendukung dan tim sukses ini beraksi, mereka melakukan provokasi karena merasa calonnya dihina. Tidak kalah para pengisi kolom komentar juga ikut-ikutan pasang wajah anti kritik ala penguasa.