Setiap minggu digilir shift siang dan malam, kadang ritmenya berubah. Singkatnya hingga selama 5 tahun bekerja, aku tak pernah mendapatkan malam tahun baru di rumah.
Malam tahun baruku selalu di kantor, bertepatan shift malam. Menyaksikan kembang api sebentar lalu kembali ke pekerjaan. Pemandangan malam tahun baru bagiku tak pernah benar-benar dihayati.
Anakku selalu menelpon setiap tiba momen malam pergantian tahun itu, kami Videocall-an lewat WhatsApp. Dia sangat antusias, menunjuk ke langit tempat kembang api bertaburan.
Di ujung teleponnya aku juga menampakkan diri tampil antusias, heboh, berhubung dia anak perempuan, dia sensitif, perasaannya harus dihargai.
Sebanyak 5 kali dalam 5 tahun kami teleponan, meladeninya bercerita heboh soal kembang api. Dia suka sekali.
Kami muslim, dan wacana boleh tidaknya kembang api selalu mengusik. Pemahamanku menunjukkan bahwa orang melarang membakar atau membanggakan kembang itu dasarnya adalah dalil "Barangsiapa mengikuti suatu kaum...."
Tetapi bagiku hal itu masih bisa lebih fleksibel, dasar menyaksikan dan mensoraki kembang api tidak semata karena motif mengikuti suatu kaum. Selama masih ada ulama yang tidak melarang, dengan dasar yang kuat, maka bagiku itu boleh.
Setelah malam kembang api kelima, atau setelah malam tahun baru ke-5, aku mulai serius menghitung apakah shift-ku akan bertepatan di pagi hari jelang tahun baru.
Beruntungnya iya, tetapi harus kutangisi di kemudian hari. Sebelum mencapai malam pergantian tahun keenam, anakku pergi, kami tak bisa menyaksikan kembang api yang sama.
Kembang api kami selalu berbeda. Meskipun kini sudah bisa menyaksikan kembang api dari rumah. Tetapi anak perempuanku yang selalu menelpon itu, tak bisa lagi kuajak menyaksikan kembang api yang sama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H