Malam jelang pergantian tahun, begitu kembang api naik ke angkasa dan menyemprotkan bulir-bulirnya, seketika itu juga bulir dari kelopak mataku keluar.
Tahun ini sudah yang kedua kalinya diriku menitikkan air mata. Pertama, pada malam jelang 2023, dan kedua, pada malam jelang 2024. Kutengokkan kepalaku ke arah barat laut kota ini, di sana pusara anakku.
Bulir-bulir api semakin banyak meledak di udara, bulir-bulir di mataku juga semakin pecah dan tumpah ruah. Kulihat langit di atas tempat jasadnya bersemayam, sangat terang dihiasi banyak kembang api.
Biar kuceritakan lebih terus terang. Anakku itu meninggal dunia di usianya yang ke-7 tahun, sakit muntaber menggerogotinya. Tetapi penyakit itu hanya tampak sebagai sebuah alasan, karena sama sekali tak disangka.
Dokter memeriksa dan mengatakan pada 8 jam sebelum wafatnya, bahwa anakku sudah boleh pulang besok pagi. Tetapi malam itu pukul 03.00 dinihari, dia pergi dengan cepat, seharusnya dia kritis tapi masih bisa bicara, perawat keheranan.
Terlepas dari tanda apapun yang menyertai kepergian anakku, jelasnya dia anakku, aku sangat mencintainya, dan tahu apa yang dia suka.
Dia paling suka lihat kembang api.
Sejak umurnya 2 tahun, kami tak pernah menyaksikan kembang api yang sama di setiap malam pergantian tahun. Di saat itu aku selalu tidak berada di rumah.
Itu semua karena tuntutan pekerjaan. Aku bekerja di suatu perusahaan logistik, pengiriman barang cepat, dan bekerja dengan sistem shift. Jenis pelayanan dengan level Express.
Mengenai hari libur, karyawan bergantian off kerja selama 2 hari dalam sepekan. Sehingga jika nanti bertepatan dengan tanggal merah, karyawan tetap masuk bekerja.