Tetapi sementara orang akan membenarkan Cak Nur, yang mengatakan bahwa Megawati itu anak bapaknya, saat pengamat politik kontroversial era kini, Rocky Gerung, mempertanyakan ideologi PDIP yang merangkul Sandiaga Uno.
Rocky Gerung sangsi, Sandiaga Uno yang disebutnya 'Kapitalis' dirangkul oleh PDIP yang sosialis, saat sebelum memajukan Ganjar-Mahfud jadi Capres dan Cawapres.
Namun harus disadari bahwa waktu telah bergeser, ini bukan lagi zamannya representasi ideologi. Zaman di mana blok geng politik dari ideologi tertentu tidak akan bisa menyatu dengan lawan ideologisnya.
Jelas saja bahwa PDIP yang sosialis tidak akan bisa menyatu dengan komplotan Anies Baswedan yang Islamis, itupun sesungguhnya hanya tampak ideologis dari sisi permukaan.
Nyatanya seteru itu bukan terutama karena beda ideologi, melainkan karena beda kepentingan semata, maka konflik pun menjadi sangat teknis.
Anies menjadi musuh istana, atau menjadi musuh PDIP sekalian (sebab kini istana dan PDIP lagi pisah ranjang), semata karena beda sikap soal kebijakan nasional.
Dalam hal ini Anies bukan menjadi representasi Islam, yang bisa dibayangkan sewarna dengan Pan-Islamisme, Anies lebih tampak seperti Pos-Islamisme (jadi, santri Pos-Islamisme ala Hidayat Nurwahid untuk Sandiaga Uno itu kurang tepat).
Citra Anies seputar itu saja, yaitu tampil meyakinkan seolah dia adalah representasi kelompok islam (bukan representasi ideologi Islam), atau yang lebih populer dikenal dengan politik identitas.
Bisa ditebak, jika seandainya Anies tidak berbeda sikap soal kebijakan nasional, pasti ia tidak akan berseteru baik dengan istana maupun dengan PDIP.
Di sisi lain, Ganjar Pranowo juga bukan representasi ideologi Sosialis-Marhaenis. Ganjar Pranowo tidak lain adalah tokoh populis, yang pikiran-pikirannya juga sangat teknis.
Ganjar tidak mampu berbicara secara konseptual tentang sikap keberpihakan kepada rakyat kecil, kala berhadapan dengan korporasi dan kekuasaan.