Jelang KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, NTT, Presiden Jokowi menggelar jumpa pers untuk mengumumkan rencana mengajukan isu-isu prioritas yang akan dibahas pada forum ASEAN tersebut.
Salah satu dan merupakan yang pertama akan diajukan adalah isu mengenai perdagangan manusia, yang korbannya tidak lain adalah masyarakat negara-negara ASEAN itu sendiri, terutama Warga Negara Indonesia (WNI).
Sebanyak 20 orang WNI korban perdagangan manusia belum lama ini diselamatkan dari Myanmar, oleh pemerintah Indonesia. Serta pada 5 mei kemarin, sekitar 143 WNI diselamatkan dari TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) di Filipina.
Kasus perdagangan orang ini memang mengganas. Polri--melalui Pusiknas--melaporkan bahwa sepanjang 7 bulan di tahun 2022 saja terdapat 57 kasus TPPO yang ditindak. Kebanyakan pada akhir juli 2022.
TPPO selalu berkedok penyedia jasa penyaluran tenaga kerja ke luar negeri. Mengejutkan, bahwa di tahun 2017, Bank Dunia--dikutip oleh katadata.co.id--mendata WNI yang bekerja di luar negeri adalah sebanyak 9 juta orang. Sementara di tahun yang sama, data mengenai pekerja migran yang resmi menunjukkan total hanya ada 6,4 juta orang. Hal itu berarti, sebanyak 4,4 juta lainnya merupakan selundupan alias ilegal.
Melihat kenyataan meningkatnya kasus TPPO ini dari tahun ke tahun, maka sudah sepantasnya ada upaya yang lebih serius dalam pemberantasannya. Apalagi aparat sendiri kerap terlibat dalam kejahatan ini.
Upaya pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi mengajukan pemberantasan perdagangan manusia menjadi isu prioritas dalam pembahasan di KTT ASEAN ke-54, patut diapresiasi. Dengan demikian negara-negara peserta KTT itu akan merumuskan formula baru pemutusan mata rantai kejahatan yang luar biasa itu.
Namun, perdagangan manusia atau TPPO semestinya tidak hanya dipandang sebagai fenomena kejahatan semata. Yaitu, kejahatan yang lahir dari pemanfaatan teknologi secara tidak bijak, serta upaya meraup keuntungan dengan jalan penipuan.
Lebih dari itu, secara internal (meski dilakukan terpisah dari forum KTT), pemerintah juga perlu mengevaluasi faktor-faktor maraknya TPPO dari sudut pandang korban. Misalnya pemerintah akan memulai investigasi dengan sebuah pertanyaan: apa yang menyebabkan banyak orang menjadi korban perdagangan manusia, melalui kedok penyaluran tenaga kerja, yang sesungguhnya bisa dikenali karena sudah berulang-ulang?
Salah satu jawabannya adalah harapan akan perbaikan nasib yang lebih baik. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Indonesia, apalagi untuk masyarakat pencari kerja, bahwa upah atau gaji bekerja di luar negeri jauh lebih fantastis ketimbang di dalam negeri.