Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan yang Menjauhkan Anak dari Realitas

4 Mei 2023   14:48 Diperbarui: 6 Mei 2023   08:55 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyambut PTM 100 persen guru perlu merancang pembelajaran yang membuat siswa belajar aman, nyaman, dan bermakna meskipun jumlah siswa sudah kembali seperti semula.(DOK. TANOTO FOUNDATION)

Mengapa may day atau hari buruh sedunia berdampingan dengan hardiknas? Secara historis memang tidak berhubungan. May day berawal dari aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat tahun 1886 yang berujung represif oleh aparat, dan berakhir tragis. Lalu konferensi internasional di Paris 1889 menyerukan agar tragedi itu dibadikan dalam hari buruh internasional 1 mei pada setiap tahunnya.

Sedangkan hardiknas 2 mei, mengambil tanggal lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, nama asal dari bapak pendidikan sekaligus tokoh pergerakan nasional, Ki Hadjar Dewantara.

Meski tak berhubungan, secara psikologis seolah mengajak kita untuk memaknainya secara bersama-sama, setelah merenungkan nasib buruh, esok harinya kita diajak untuk merenungi hasil pendidikan kita yang mencetak manusia-manusia yang senasib dengan buruh, dan kalau bukan, manusia-manusia yang menindas kaum buruh.

Pendidikan kita sejauh ini hanya mengarahkan peserta didik untuk mengejar yang ideal, tanpa menekankan untuk memperhatikan hal-hal yang ril. 

Di sekolah, anak-anak kita akan ditanya mengenai cita-cita, dan mereka akan memberikan profesi yang tinggi-tinggi sebagai jawabannya.

Menjadi pilot, misalnya, atau menjadi dokter, menjadi presiden, menjadi bupati, menjadi polisi dan tentara, dan lain sebagainya, adalah segenap cita-cita yang diucapkan oleh anak-anak kita. Profesi-profesi itu dipandang sebagai penanda suksesnya manusia. Seragamnya dapat dibanggakan, meski anak-anak belum sepenuhnya paham bahwa seringkali kebagusan seragam berbanding lurus dengan banyaknya gaji yang diterima.

Mereka dibiarkan begitu saja berimajinasi dengan keidealan itu. Lalu orang dewasa, dalam hal ini guru dan orang tua, membantu mereka untuk menguatkan tekad agar keidealan itu semakin mendekat dan akhirnya dapat diraih.

Tetapi orang-orang dewasa ini lupa, atau tidak kepikiran agar menampilkan cita-cita tadi secara apa adanya. Bahwa apa yang tampaknya sempurna itu menyimpan celah-celah yang tak terduga.

Di saat anak bercita-cita menjadi guru, ia tidak tahu kalau guru itu ada yang PNS dan ada yang honorer. Ia tidak akan tahu perbedaan penghasilan mereka masing-masing, meski profesi dan tanggungjawab mereka sama.

Memang kita disuruh melihat guru sebagai profesi yang mulia, mengajarkan ilmu ke banyak orang. Tetapi perbedaan kesejahteraan cukup membuat kita heran. Yang dibayar ratusan ribu pertiga bulan, dituntut sama dengan yang menerima gaji juta-jutaan perbulan. Ironisnya, yang ratusan ribu terkadang lebih bekerja keras ketimbang yang jutaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun