Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Idul Fitri: Kembali Kepada Kemanusiaan (Bagian 1)

23 April 2023   18:04 Diperbarui: 23 April 2023   18:08 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: suaramuslim.net

Idul Fitri, menurut Prof. Quraish Shihab, berarti kembali kepada kesucian. Lalu tafsir ini dilanjutkan dengan pemaknaan bahwa manusia yang berhasil mencapai Idul Fitri, atau kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, akan menjadi manusia yang bersih layaknya bayi yang baru dilahirkan--tanpa dosa.

Kesucian itu ditandai dengan dua hadis berikut. Pertama, hadis yang menyatakan siapa yang berpuasa dan mendirikan ramadan, maka dosa-dosanya dihapuskan.

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (H.R. Bukhari no. 37)

"Barang siapa yang menegakkan Ramadan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya." (H.R. Bukhari no. 1870)

Dua hadis jenis pertama di atas, mengisyaratkan bahwa berpuasa dan menghidupkan amalan di bulan ramadan dapat mengantarkan manusia kepada fitrah, kesucian, yakni dihapusnya dosa-dosa yang telah lalu. 

Hal ini disebabkan berubahnya karakter seseorang yang telah melewati gemblengan di bulan ramadan, sehingga menjadi ahli ibadah serta berhasil meninggalkan segala bentuk kesia-siaan. 

Dalam hadis lain diterangkan bahwa setan dibelenggu pada bulan ramadan, tidak lain karena godaan setan yang menyesatkan manusia itu, tidak ada artinya di hadapan orang yang berpuasa, sebagaimana dimaksudkan oleh hadis di atas.

Kedua, hadis yang menandai bahwa manusia kembali kepada kebiasaannya sebagai manusia biologis, yakni makan:

"Pada hari raya, Rasulullah saw. tidak berangkat untuk melaksanakan salat hingga beliau makan beberapa butir kurma." (H.R. Bukhari no.900, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Makannya Rasulullah di hari Idul Fitri mengisyaratkan bahwa kembali fitri bukan hanya soal ruhaninya yang bersih tanpa noda, tetapi juga ciri kemanusiaannya sebagai makhluk biologis juga dikembalikan.

Kedua jenis hadis di atas, singkatnya, seolah-olah ingin mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk dua dimensi, yakni jasmani dan ruhani, yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Kesucian ruhani mesti dibarengi pula dengan kesucian jasmani. Bahkan kesucian ruhani merupakan dampak dari kesucian jasmani.

Selanjutnya, kesucian yang dimaksud merupakan makna dari kata "fitri", yaitu berdasarkan fitrah yang ada pada manusia. Bukan dari kata thahir, atau at-thahurah, yang juga artinya suci, bersih.

Murtadha Muthahhari, seorang cendekiawan muslim asal Iran, menyebut fitrah sebagai potensi yang dikhususkan bagi manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lain. 

Pada tumbuhan, potensi dasarnya disebut tabiat, yang membuat tumbuhan tumbuh mengikuti gerak alam. Pergerakan tumbuhan sangat bergantung pada pergerakan alam. Tumbuhan hidup tanpa kesadaran sejarah, dan tanpa kesadaran perkembangan akan masa depan.

Potensi yang ada pada hewan disebut insting (gharizah), yang membuat hewan bergerak mengikuti petunjuk alam, demi memenuhi kebutuhan biologisnya semata, dan hanya berkaitan dengan saat itu saja. Hewan berkembang, namun tanpa kesadaran sejarah masa lalu dan juga kesadaran akan datangnya masa depan.

Sedangkan potensi manusia yang disebut fitrah itu, tidak hanya berkesadaran ruang dan waktu, sejarah dan masa depan, tetapi juga berkemampuan untuk melakukan inovasi. Selain itu, kemampuan intuisinya mampu menjangkau pengetahuan tentang alam tak kasat mata (ghaib), seperti keberadaan Tuhan, malaikat, hari akhir, karena pembacaan terhadap kitab suci dan alam semesta.

Mengapa fitrah manusia sedemikian jauh lebih hebat ketimbang tabiat pada tumbuhan dan insting pada hewan? Sebab fitrah itu diraih dengan alat pengetahuan (epistemologi) yang dianugerahkan khusus oleh Tuhan.

Pertama, manusia dianugerahi indra, alat pengetahuan tentang dunia materi. Manusia mampu membedakan mana yang visual, mana yang audio, mana yang menguarkan aroma, mana rasa berdasarkan sentuhan, dan mana rasa berdasarkan pengecapan. Kesemuanya ditangani oleh masing-masing indra yang tak bisa saling dipertukarkan.

Kedua, manusia punya rasio atau akal. Rasio mampu membagi, memilah, menceraikan, dan menggabungkan objek hasil pengindraan. Lalu tercipta ide-ide, inovasi, kreasi, melalui metode ilmiah, yang menyebabkan lahir dan berkembangnya teknologi. 

Ketiga, manusia juga punya kalbu atau hati, yang berkemampuan untuk merasakan simpati dan empati, serta merasakan petunjuk yang sifatnya intuitif atau firasat. Tempat merasakan keyakinan dan komitmen. Hati tempatnya hadir petunjuk ilahi, yang disebut ilham, pada tahap yang paling tinggi dikhususkan bagi para Nabi, yakni wahyu Tuhan.

Maka seharusnya, kembali fitri adalah kembali kepada penggunaan ketiga alat pengetahuan di atas. Puasa kita harusnya memaksimalkan potensi indra, akal, dan hati. Tidak cukup hanya menyadari bahwa diri sudah bersih dari dosa.

Setiap manusia berpotensi untuk melakukan kesalahan, tak ada manusia biasa yang benar-benar suci seperti para Nabi. Namun manusia dapat menjauhkan diri dari kesengajaan berbuat dosa. 

Kembali kepada fitrah, singkatnya, adalah menjauhkan indra, akal, dan hati dari perbuatan dosa. Caranya, dengan melakukan pembacaan terhadap ayat-ayat qauliyah (yang termaktub di dalam Al-Qur'an) dan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda, petunjuk Allah di alam semesta).

Itulah mengapa sebabnya perintah pertama dalam Al-Qur'an adalah membaca; iqra', bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Artinya, aktivitas pengindraan, penalaran, dan juga intuisi mesti melibatkan Tuhan di dalamnya.

Jika tidak, maka segala pengetahuan dan aktivitas kita akan mengarah kepada pengabaian terhadap nilai-nilai logika, etika, dan estetika. 

Lihatlah perkembangan teknologi di barat yang tak melibatkan Tuhan itu--yang oleh Yuval Noah Harari digambarkan sebagai era Homo Deus--pada akhirnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang semakin eksploitatif terhadap alam, sakralitas, dan juga budaya.

Oleh sebab itu, Idul Fitri dapat juga dimaknai sebagai penciptaan peradaban tandingan, yakni peradaban yang dibangun atas ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan nilai ilahiah, menggantikan peradaban ilmu yang menistakan alam, agama, dan kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun