Setiap manusia berpotensi untuk melakukan kesalahan, tak ada manusia biasa yang benar-benar suci seperti para Nabi. Namun manusia dapat menjauhkan diri dari kesengajaan berbuat dosa.Â
Kembali kepada fitrah, singkatnya, adalah menjauhkan indra, akal, dan hati dari perbuatan dosa. Caranya, dengan melakukan pembacaan terhadap ayat-ayat qauliyah (yang termaktub di dalam Al-Qur'an) dan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda, petunjuk Allah di alam semesta).
Itulah mengapa sebabnya perintah pertama dalam Al-Qur'an adalah membaca; iqra', bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Artinya, aktivitas pengindraan, penalaran, dan juga intuisi mesti melibatkan Tuhan di dalamnya.
Jika tidak, maka segala pengetahuan dan aktivitas kita akan mengarah kepada pengabaian terhadap nilai-nilai logika, etika, dan estetika.Â
Lihatlah perkembangan teknologi di barat yang tak melibatkan Tuhan itu--yang oleh Yuval Noah Harari digambarkan sebagai era Homo Deus--pada akhirnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang semakin eksploitatif terhadap alam, sakralitas, dan juga budaya.
Oleh sebab itu, Idul Fitri dapat juga dimaknai sebagai penciptaan peradaban tandingan, yakni peradaban yang dibangun atas ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan nilai ilahiah, menggantikan peradaban ilmu yang menistakan alam, agama, dan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H