Kedua jenis hadis di atas, singkatnya, seolah-olah ingin mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk dua dimensi, yakni jasmani dan ruhani, yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Kesucian ruhani mesti dibarengi pula dengan kesucian jasmani. Bahkan kesucian ruhani merupakan dampak dari kesucian jasmani.
Selanjutnya, kesucian yang dimaksud merupakan makna dari kata "fitri", yaitu berdasarkan fitrah yang ada pada manusia. Bukan dari kata thahir, atau at-thahurah, yang juga artinya suci, bersih.
Murtadha Muthahhari, seorang cendekiawan muslim asal Iran, menyebut fitrah sebagai potensi yang dikhususkan bagi manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lain.Â
Pada tumbuhan, potensi dasarnya disebut tabiat, yang membuat tumbuhan tumbuh mengikuti gerak alam. Pergerakan tumbuhan sangat bergantung pada pergerakan alam. Tumbuhan hidup tanpa kesadaran sejarah, dan tanpa kesadaran perkembangan akan masa depan.
Potensi yang ada pada hewan disebut insting (gharizah), yang membuat hewan bergerak mengikuti petunjuk alam, demi memenuhi kebutuhan biologisnya semata, dan hanya berkaitan dengan saat itu saja. Hewan berkembang, namun tanpa kesadaran sejarah masa lalu dan juga kesadaran akan datangnya masa depan.
Sedangkan potensi manusia yang disebut fitrah itu, tidak hanya berkesadaran ruang dan waktu, sejarah dan masa depan, tetapi juga berkemampuan untuk melakukan inovasi. Selain itu, kemampuan intuisinya mampu menjangkau pengetahuan tentang alam tak kasat mata (ghaib), seperti keberadaan Tuhan, malaikat, hari akhir, karena pembacaan terhadap kitab suci dan alam semesta.
Mengapa fitrah manusia sedemikian jauh lebih hebat ketimbang tabiat pada tumbuhan dan insting pada hewan? Sebab fitrah itu diraih dengan alat pengetahuan (epistemologi) yang dianugerahkan khusus oleh Tuhan.
Pertama, manusia dianugerahi indra, alat pengetahuan tentang dunia materi. Manusia mampu membedakan mana yang visual, mana yang audio, mana yang menguarkan aroma, mana rasa berdasarkan sentuhan, dan mana rasa berdasarkan pengecapan. Kesemuanya ditangani oleh masing-masing indra yang tak bisa saling dipertukarkan.
Kedua, manusia punya rasio atau akal. Rasio mampu membagi, memilah, menceraikan, dan menggabungkan objek hasil pengindraan. Lalu tercipta ide-ide, inovasi, kreasi, melalui metode ilmiah, yang menyebabkan lahir dan berkembangnya teknologi.Â
Ketiga, manusia juga punya kalbu atau hati, yang berkemampuan untuk merasakan simpati dan empati, serta merasakan petunjuk yang sifatnya intuitif atau firasat. Tempat merasakan keyakinan dan komitmen. Hati tempatnya hadir petunjuk ilahi, yang disebut ilham, pada tahap yang paling tinggi dikhususkan bagi para Nabi, yakni wahyu Tuhan.
Maka seharusnya, kembali fitri adalah kembali kepada penggunaan ketiga alat pengetahuan di atas. Puasa kita harusnya memaksimalkan potensi indra, akal, dan hati. Tidak cukup hanya menyadari bahwa diri sudah bersih dari dosa.