Idul Fitri, menurut Prof. Quraish Shihab, berarti kembali kepada kesucian. Lalu tafsir ini dilanjutkan dengan pemaknaan bahwa manusia yang berhasil mencapai Idul Fitri, atau kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, akan menjadi manusia yang bersih layaknya bayi yang baru dilahirkan--tanpa dosa.
Kesucian itu ditandai dengan dua hadis berikut. Pertama, hadis yang menyatakan siapa yang berpuasa dan mendirikan ramadan, maka dosa-dosanya dihapuskan.
"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (H.R. Bukhari no. 37)
"Barang siapa yang menegakkan Ramadan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya." (H.R. Bukhari no. 1870)
Dua hadis jenis pertama di atas, mengisyaratkan bahwa berpuasa dan menghidupkan amalan di bulan ramadan dapat mengantarkan manusia kepada fitrah, kesucian, yakni dihapusnya dosa-dosa yang telah lalu.Â
Hal ini disebabkan berubahnya karakter seseorang yang telah melewati gemblengan di bulan ramadan, sehingga menjadi ahli ibadah serta berhasil meninggalkan segala bentuk kesia-siaan.Â
Dalam hadis lain diterangkan bahwa setan dibelenggu pada bulan ramadan, tidak lain karena godaan setan yang menyesatkan manusia itu, tidak ada artinya di hadapan orang yang berpuasa, sebagaimana dimaksudkan oleh hadis di atas.
Kedua, hadis yang menandai bahwa manusia kembali kepada kebiasaannya sebagai manusia biologis, yakni makan:
"Pada hari raya, Rasulullah saw. tidak berangkat untuk melaksanakan salat hingga beliau makan beberapa butir kurma."Â (H.R. Bukhari no.900, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Makannya Rasulullah di hari Idul Fitri mengisyaratkan bahwa kembali fitri bukan hanya soal ruhaninya yang bersih tanpa noda, tetapi juga ciri kemanusiaannya sebagai makhluk biologis juga dikembalikan.