Saya dilahirkan di keluarga yang berasal dari rumpun suku di Sulawesi Selatan, meski menetapnya di Sulawesi Tengah. Ayah saya berasal dari daerah Palopo, Luwu, dan ibu saya dari Kabupaten Barru. Keduanya orang Sulawesi Selatan.
Saya sendiri lahir di Sulawesi Tengah, daerah yang juga punya suku sendiri--meski orang bugis juga banyak. Di daerah ini, saya berbahasa sehari-hari tidak lagi menggunakan bahasa bugis, tidak sebagaimana kedua orang tua saya.
Namun begitu, tradisi masyarakat bugis masih terpelihara di keluarga. Utamanya jika ada hajatan keluarga. Maka mulai dari adat pengantin, syukuran, akikah (mappenre' tojang), hingga aneka kuliner khas bugis, masih akrab dengan keseharian saya.
Salah satunya adalah kue barongko. Di kampung saya di daerah Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, kue ini juga disebut dengan burongko (beda pada huruf kedua). Burongko termasuk salah satu kue yang populer di acara pesta perkawinan, hakikahan, maupun acara buka puasa dan malam nuzulul Qur'an di bulan ramadan.
Barongko adalah kue kesukaan saya, disamping kue khas bugis lainnya, yaitu bolu peca', doko'-doko', dan bandang. Itu yang manis-manis. Kalau yang asin, Insyaallah kue favorit saya adalah jalangkote (kue sup ala orang Bugis-Makassar).
Kue (barongko) ini terbuat dari pisang yang dihaluskan, dicampur santan dan telur. Lalu dibungkus dengan model tertentu yang khas, menggunakan daun pisang. Kemudian dikukus.
Enaknya kue barongko karena rasanya yang manis, teksturnya yang lembut, serta aromanya yang kerasa sebab pembungkusnya terbuat dari daun pisang.
Di bulan ramadan, kue ini sangat cocok untuk dijadikan menu buka puasa, karena rasanya yang manis memenuhi anjuran dalam Islam. Aromanya wangi, sehingga sangat menggugah selera. Serta teksturnya yang lembut, sangat aman bagi pencernaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H