Kalau Anies dikatakan tokoh politik identitas, maka siapa tokoh politik yang bukan politik identitas? Dari orasi ilmiah Buya Syafii Maarif di Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) yang kemudian disunting jadi buku itu, kita bisa menyimpulkan bahwa politik identitas itu niscaya, lagipula positif saja dalam dunia politik kita.
Hanya saja belakangan politik identitas, apalagi dengan background Islam, selalu diframing negatif. Utamanya karena keberadaan kelompok-kelompok progresif, yang dinilai sebagai radikalis atau intoleran itu, juga turut hadir menghiasi blantika politik Indonesia.
Dalam beberapa kasus, kehadiran kelompok-kelompok radikal cukup mengganggu, tetapi dalam musim konstalasi politik menjelang pemilu, isu kelompok fundamentalis selalu dimainkan. Misalnya di pilpres 2019, karena kelompok-kelompok Islam progresif berada di barisan pendukung Prabowo Subianto, maka mereka diindentifikasi tunggal sebagai kadrun (kadal gurun)--itu juga karena mereka kerap menyebut barisan pendukung Jokowi sebagai cebong. Pun sebaliknya.
Mestinya Prabowo lah yang paling cocok disebut bapak politik identitas. Ia bukan lagi hanya dekat dengan kelompok-kelompok Islam, malahan kekuatan Islam selalu ditampilkan berada di belakangnya untuk memback-up. Jelas sekali, istilah ijtima' ulama dan restu "umat Islam" yang memilih Prabowo, menjadi dua penanda kuat akan politik identitas itu.
Belum lagi jika melihat kelompok progresif yang dinilai sebagai fundamentalis semacam FPI maupun eksponen PA 212, yang menyumbang kekuatan utama pada kubu Prabowo. Anies belum tentu punya backing-an dari "umat Islam" seperti ini. Tetapi framing Anies bapak politik identitas berjubah agama Islam marak menyambut Pilpres 2024.
Hal yang paling menggelitik, saya kira--dari pengalaman Pilpres kemarin, mengapa ada frasa "umat Islam" yang marak dalam satu istilah "suara umat Islam" yang sering didengungkan oleh pihak pendukung Prabowo? Apakah berarti kubu Jokowi bukan "umat Islam"? Nyatanya sama-sama Islam. Tetapi satu lebih menonjolkan latar belakang Islamnya, satunya lagi memang Islam (bahkan termasuk di dalamnya sementara kalangan santri) namun tidak mengatasnamakan Islam, mungkin sebatas kesadaran bahwa sikap politik yang paling penting, identitas tidak usah.
Kenyataan ini mengingatkan saya akan dua hal. Pertama, sebuah forum diskusi buku karya Anthony Reid tentang Nasionalisme di Asia Tenggara (Imperial Alchemy; Nationalism and Political Identity in Southeast Asia). Hasil diskusi itu kemudian ditranskrip ke dalam bentuk buku.
Kedua, buku "Agama Jawa" (alih bahasa dari The Religion of Java) yang ditulis oleh Clifford Geertz yang membagi golongan Islam menjadi tiga: abangan, santri, dan priyayi. Buku ini cukup masyhur di kalangan para pengkaji sejarah Indonesia, bahkan ketiga istilah Geertz (abangan, santri, priyayi) itu nyaris menjadi istilah sehari-hari masyarakat kita.
Dilihat dari kedua buku itu, adalah sangat wajar jika frasa "umat Islam" (dengan tanda kutip) di tengah umat Islam (dengan tanpa tanda kutip) karena memang ada sejarahnya. Dari Anthony Reid kita bisa mempelajari istilah Ethie Nationalism atau etno nasionalisme, yang bisa kita maknai sebagai bangsa yang terbentuk berdasarkan etnik. Kaitannya dengan Islam, Reid mengambil contoh salah satunya Aceh.
Kata Ihsan Ali-Fauzi dalam diskusi buku Reid, "Aceh punya pengalaman yang panjang dengan Islam, punya sense kebangsaan yang sangat tinggi." Begitu Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara-bangsa (di mana negara berarti meliputi seluruh etnik, ras, suku, dan bangsa seluruh Indonesia), dan kelihatannya negara hanya mementingkan Jawa dan Jakarta, maka dengan perasaan kebangsaan yang mendalam, Aceh yang Islam itu kerap memunculkan kemarahannya.
Ketika Aceh diidentikkan dengan Islam, itu wajar, sebab dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia, secara etnik Aceh sudah menyatu dengan Islam. Demikian pula Minang, di mana Islam melekat padanya, sehingga akan ganjil ketika ada orang dari agama lain mendaku sebagai orang Minang.