Jawabannya adalah terdapat faktor eksternal, yaitu interaksi antara pelaku teror dan sasaran teror yang menurut Anies terjadi secara kalkulatif. Di sini, siapa yang disebut korban belum tentu adalah sasaran teror. Bisa jadi pelaku teror adalah korban perilaku diskriminatif dari sasaran teror.
Lihatlah apa yang ditonjolkan oleh Barbara Victor dalam bukunya itu, alih-alih wanita-wanita pejuang syahid Palestina melakukan tindakan bom bunuh diri demi membela agamanya, yang mereka lakukan sebenarnya justru demi membela tanah air. Sedang nilai-nilai Islam hanyalah sebuah spirit yang membangkitkan semangat perjuangan mereka. Motif ini sebatas tersirat kalau saja Barbara ikut-ikutan menggunakan kerangka kultural dalam analisanya.
Data yang dikutip Anies--yang juga ditampilkan dalam bentuk tabel di pengantar buku itu--dari Robert Pape tentang jumlah serangan perempuan bunuh diri lintas kelompok (1980 - 2003), menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Palestina menempati urutan kelima dari enam kelompok. Jumlah pelakunya pun hanya 6 atau sebesar 5%, dibandingkan dengan yang berada di peringkat pertama yaitu perempuan dari kelompok Kurdistan sebanyak 10 atau 71%, Â atau wanita Chechnya sebanyak 14 atau 60%, dan Macan Tamil sebanyak 23 atau 20%.
Meski dengan angka yang relatif rendah, mengapa perempuan-perempuan Palestina dilabeli sebagai teroris? Sebab pertama, karena perhatian dunia terkonsentrasi penuh pada kasus konflik Israel-Palestina. Kedua, pengaruh kerangka kultural tadi, yang digunakan sebagai pisau analisa tunggal, bahkan di pelbagai kesempatan yang semisal, yaitu ketika membicarakan kelompok yang sudah distereotipe sebagai radikalis.
Namun penggunaan kerangka rasional bukannya tanpa risiko. Konsekuensi terbesarnya, menurut Anies, adalah jatuh dalam batas tipis antara (1) dianggap sebagai analis yang rasional dalam melihat masalah, dan (2) dituduh sebagai simpatisan kelompok intoleran. Sebab yang terakhir disebutkan menyediakan ruang bagi penganalisa untuk berempati pada pelaku teror, di mana penganalisa berupaya mencari penyebab tindakan pendahuluan sasaran teror sehingga si pelaku teror merasa harus melancarkan tindakannya.
Anies sangat memahami dua kerangka ini (sebab dia yang mengajukannya secara ilmiah). Kira-kira hal seperti inilah yang terjadi pada diri Anies, akibat dominannya pandangan yang berbasis pada kerangka kultural, membuat kita mengalami keterjebakan dalam stereotipe tertentu, serta cenderung mengabaikan kemungkinan sebaliknya, bahwa mungkin saja kelompok Islam progresif ketika melakukan protes adalah wajar, karena adanya pendahuluan dari pihak yang berhadapan.
Bahayanya, kelompok-kelompok intoleran, fundamentalis, teroris, kerap dipersamakan dengan kelompok Islam progresif namun tidak memiliki niat untuk melakukan tindak kekerasan. Stereotipe kelompok-kelompok Islam progresif seringkali berdasarkan kesamaan ciri-ciri fisik, jargon, serta persamaan persepsi tentang perlunya kehidupan yang Islami.
Kalaupun Anies bisa mendekat dan berkomunikasi dengan kelompok-kelompok Islam yang progresif itu (bukan yang berideologi jihadis), itu karena Anies menguasai kedua kerangka yang sudah dipetakannya tadi. Bisa kita bilang, hal itu adalah bagian dari kemampuan Anies dalam membaca, mempelajari, serta menjalin komunikasi dengan kelompok yang berbeda.
Di samping itu, Anies juga sangat dekat dan piawai dalam menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh yang memiliki komitmen berdemokrasi yang tinggi. Penampilan dan pandangan-pandangan Anies juga tidak mencerminkan bahwa dia adalah representasi kelompok intoleran, atau menggunakan identitas muslim sebagai jalan untuk mencapai cita-cita politiknya.
Justru hal inilah yang dibutuhkan dari seorang pemimpin, mampu berdiri di atas semua golongan. Bukannya membagi-bagi masyarakat ke dalam dua kategori, antara yang pancasilais dan anti-pancasila; antara kawan dan musuh. Lalu masyarakat kemudian tersugesti, segregasi sosial semakin tercipta. Demikianlah jika diri sudah diidentifikasi sebagai pancasilais, maka yang berseberangan pendapatnya akan dituduh sebagai anti-pancasila.
Negara tidak boleh melakukan pemetaan sesederhana itu, termasuk membiarkan oknum-oknum pendengung (buzzer) yang berupaya demikian. Apalagi gara-gara pemetaan seperti itu membuat negara bersikap diskriminatif, jelas hal ini mengancam keutuhan persatuan bangsa. Sebaliknya, negara mesti mengayomi rakyatnya, bukannya memusuhi yang berbeda. Sikap pemimpin negara yang sangat menentukan dalam hal ini.