Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Masih Perlukah Percaya terhadap Humanisme?

19 Maret 2023   14:09 Diperbarui: 19 Maret 2023   14:11 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada pihak yang dengan yakinnya mengumumkan perang terhadap politik identitas, yang berarti juga perang terhadap terorisme, radikalisme, intoleransi (diskursus politik identitas di Indonesia memang terutama adalah motif agama) dan lain  sebagainya itu wajar saja. Mengingat negara kita memiliki kekayaan--di samping sumber daya alam--suku dan etnik yang melimpah, yang masing-masing memiliki adat dan tradisi yang dijunjung tinggi; juga agama.

Bahwa radikalisme dan intoleransi mengancam langgengnya kekayaan itu, apalagi terhadap minoritas. Di Indonesia, radikalisme selalu dalam pengertian agama, khususnya Islam, oleh sebab itu jika kata ini atau yang serupanya dibunyikan, yang terbayang di benak kita adalah kelompok-kelompok Islam fundamentalis.

Lebel Islam fundamentalis belakangan agaknya lebih vulgar, maka istilah lain yang lebih masuk akal dicoba untuk ditampilkan, yaitu "manipulator agama". Mungkin fundamentalis itu tidak sampai melakukan aksi teror, tetapi menggunakan agama secara fideistik (agama sebagai satu-satunya solusi di atas yang lainnya) demi mencapai tujuan-tujuannya.

Manipulator agama atau tindakan memanipulasi agama dilatari oleh pemahaman yang sempit terhadap ajaran agama. Sikap menjadi eksklusif, segalanya tidak penting kecuali doktrin agama itu sendiri. Kendati pada akhirnya agama dijadikan alat untuk menindas, serta mencederai hak-hak minoritas, atau melukai kemanusiaan.

Sebagai antitesa, humanisme muncul dengan membawa nilai-nilai universalitas manusia. Humanisme itu sendiri adalah paham yang melihat manusia sebagai makhluk yang dengan kodratnya patut dihormati. Humanisme hadir sebagai pembebas terhadap sikap-sikap yang melucuti hak-hak asasi manusia.

Model humanisme Indonesia misalnya ada pada diri Gus Dur (ada yang menulis buku "Humanisme Gus Dur"). Sebab Gus Dur memang tampil sebagai pembela kemanusiaan, melindungi hak-hak minoritas yang bukan hanya dalam tataran wacana, tetapi juga dalam tindakan, utamanya ketika ia menjabat sebagai Presiden RI keempat. Keputusannya yang paling penting adalah diakuinya agama Konghucu, yang sebelumnya digolongkan ke dalam agama Budha. Gus Dur mengakhiri status mereka yang merasa hidup seperti setengah manusia menjadi manusia seutuhnya yang punya hak setara.

Karena merupakan antitesa, humanisme sendiri dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Selain karena datangnya dari barat yang sekuler, pertimbangan utama humanisme bukanlah agama, melainkan kemanusiaan. Ditambah lagi, lahirnya humanisme dilatari terutama oleh sikap kritis terhadap fenomena kekerasan atas nama agama, serta kekolotan dalam beragama.

Satu buku yang bagus dalam mengupas humanisme adalah buku yang ditulis oleh F. Budi Hardiman, "Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan tentang Manusia". Buku itu tipis, dan merupakan bahan kuliah di Komunitas Salihara.

Humanisme merupakan suatu paham yang berupaya untuk mengembalikan manusia pada kemanusiaannya, setelah sekian lama hidup di bawah penindasan monopoli tafsir institusi agama, dalam hal ini Kekristenan abad pertengahan. Jauh sebelum itu, konsep humanisme sudah ada sejak zaman Yunani kuno, melalui paidea--tulis Hardiman--yang mengolah bakat-bakat kodrati manusia. Serta zaman Romawi kuno yang menyebut manusia animal rationale.

Menjadi manusia seutuhnya, memang menjadi cita-cita para pemikir humanisme. Misalnya Auguste Comte yang meletakkan humanisme pada tahap positif (ilmiah), tingkatan tertinggi dalam perkembangan masyarakat setelah tahap teologis dan metafisis. Di sini, Comte pun mengandaikan agama dalam tahap teologis harus dilampaui jika ingin menjadi manusia seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun