Diam-diam engkau bersyukur ketika Jakarta banjir. Malah engkau berharap banjir kali ini lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Bukan apa-apa. Kamu cuma ingin melihat Jokowi, si Gubernur DKI ini, dicaci-maki oleh warganya. Kamu senang jika ini terjadi pada dia. Mentang-mentang media sering meliput blusukannya, semakin besar kepala saja ia. Begitu pikirmu. Jengkel sungguh engkau padanya sampai berlipat-lipat mulai ujung rambut hingga ujung jempol kaki. Lebih sebel lagi lihat warga yang sangat mengelu-elukan dia bak seorang pahlawan. Bah, pahlawan apa? Pahlawan kemalaman kali!
Ketika Minggu (12/01/2014) Jakarta diguyur hujan deras, hatimu girang bukan kepalang. Ayo, banjir datanglah! Ayo banjir mari ke marilah! Kepung Jakarta dari segala penjuru. Serang serentak! Kalau kurang besar, minta bantuan pasukan dari wilayah luar Jakarta. Ayo, Banjir Kiriman, segeralah meluncur ke Jakarta! Tak usah ragu, hantam saja apapun yang jadi penghalang untuk bergabung dengan air bah yang di Jakarta.
Engkau ingin melihat, apa Jokowi masih bisa menampakkan wajahnya kepada warga Jakarta yang kebanjiran. Nah lo, pastilah dia akan bersembunyi dalam selimut tebal di kamarnya yang hangat sambil berpikir mencari-cari alasan untuk ‘ngeles’.
Engkau memang menyadari bila punya rasa tidak suka dengan Jokowi. Memangnya dia itu siapa? Ujarmu. Tiba-tiba datang padahal tak ada yang mengundang. Tanpa permisi, langsung mengobrak-abrik tatanan yang sudah berurat berakar di Jakarta. Mengubah semuanya. Petantang-petenteng! Persis pendekar yang baru turun gunung.
Maka ketika banjir mulai menyapa Jakarta kembali, engkau bahagia sekali. Inilah kesempatan untuk menghantam Jokowi. Percuma persiapan berbulan-bulan ternyata keok juga melawan banjir. Katanya persiapan banjir kali ini sudah matang. Sungai dan waduk dikeruk-keruk. Warga disuruh pindah ke Rusun. Ruang terbuka hijau diperluas. Gorong-gorong kecil diganti dengan gorong-gorong besar. Tapi nyatanya, banjir masih saja terjadi di Jakarta. Mana bukti dari janji hendak membebaskan Jakarta dari banjir. Bukan Jakarta bebas dari banjir, melainkan banjirnya yang bebas berkeliaran di Jakarta.
Omong kosong! Katamu kepada orang-orang. Cuma janji tapi tak ada bukti. Cuma teori tapi praktek nol besar. Tidak bertanggung jawab. Warga kebanjiran malah enak-enakan di rumah sambil tiduran. Percuma. Sudah capek-capek kita percaya, begitu dibutuhkan malah ngumpet di rumahnya.
Sampai berbusa mulutmu meyakinkan warga tentang ketidakmampuan Jokowi mengatasi banjir. Berorasi tak henti-henti. Membawa bukti-bukti yang katamu sangat tak mungkin untuk dibantah lagi.
Tapi, siapa yang peduli. Para warga sedang sibuk. Tidak sempat lagi mendengar ceramahmu. Yang dibutuhkan warga bukan nyanyian, tapi bantuan. Bukan hasutan namun makanan. Dan bukan pula cemoohan melainkan pakaian.
Sementara itu, jauh dari hingar-bingar dan hiruk-pikuk cerita mengenai banjir, sosok Jokowi beserta jajarannya terlihat sedang bekerja keras meminimalisir terjadinya banjir. Bahu-membahu dengan para bawahannya untuk mengatasi banjir sebisa-bisanya. Tak ada waktu sama sekali baginya untuk sekedar membela diri. Sekarang waktunya Aksi, bukan Teori. Sekarang saatnya bekerja, bukan sekedar wacana. Terserah! Peduli apa terhadap jenis orang yang malah menyibukkan diri dengan beretorika di tengah-tengah kerasnya orang bekerja.
Pelahan tetapi pasti warga pun menjauhi kamu. Bergerak mendekat dan menyemut ke arah Jokowi. Engkau terkesima. Bahkan Bencana Banjir yang kau anggap bisa menjadi amunisi untuk menyerang Jokowi, justru berbalik menjadi bukti tentang uletnya ia dalam upaya untuk mewujudkan janjinya membebaskan Jakarta dari banjir. Belum berhasil maksimal memang. Tapi hati punya penilaian tersendiri. Jokowi bekerja dengan hati, bukan sekedar ingin dipuji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H