Mohon tunggu...
Saefudin Sani
Saefudin Sani Mohon Tunggu... Buruh - Swasta

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pak SBY, Jangan Somasi Saya

3 Januari 2014   15:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebetulnya diam-diam saya kagum dengan SBY. Tapi bukan kagum yang taklik buta. Bukan pula tipe orang setia. Datang dan pergi bebas kapan semau saya. Artinya tidak semua hal yang ada pada diri SBY mesti saya kagumi. Tetap ada sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan hal-hal yang saya idealkan.

Tapi saya tetap menganggap wajar. Manusiawi. Justru menjadi tidak manusiawi bila saya mengagumi semua yang ada padanya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

O, ya .. di awal saya ungkapkan mengagumi SBY secara diam-diam. Sengaja saya katakan diam-diam karena kalau ramai-ramai saya takut dianggap tidak populer. Sementara sebagian yang lain sedang asyik membicarakan kehebatan Jokowi, terkesan dengan gebrakan-gebrakan Dahlan Iskan, berpikir tentang Anis Baswedan, Sri Sultan, Ahok, Rismaharini, Megawati, Rhoma Irama, Prabowo, Win–HT, ARB, Hidayat Nurwahid, dan lain-lainnya; tetapi saya malah nyeleneh sendiri.

Saya mengagumi SBY. Dan saya percaya jika hal tersebut bukan sebuah dosa. Apalagi ini negeri demokrasi. Bebas mengagumi siapa saja. Berpendapat berbeda pun sudah merupakan sesuatu yang biasa.

Disepakati atau tidak, pada era Presiden SBY inilah kebebasan untuk berpendapat benar-benar bisa dirasakan. Setiap orang betul-betul luar biasa bebas dalam menyampaikan unek-uneknya. Tidak senang ya ucapkan saja tidak senang. Tak perlu ditabung-tabung. Langsung dihabiskan begitu terpikirkan. Boleh ngomong apa saja. Bahkan mem-bully SBY pun seolah jadi menu yang amat biasa.

Saya bayangkan, seandainya hal seperti ini terjadi di era Soeharto. Atau parahnya lagi, bila era tersebut berulang lagi. Bisa-bisa penuh isi bui dengan tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, dan entah apalagi nama tuduhannya. Dan dari yang banyak-banyak masuk bui ini, lebih banyak yang dijerat dengan pasal-pasal karet.

Kalau benar terjadi demikian, apa mungkin ya tetap ada yang mengatakan dengan bangganya: ‘Piye kabare? Enak  jamanku to!’  Yang pasti, pada era Soeharto kala itu seolah-olah disepakati motto: ‘Meski berbeda-beda, tetapi harus tetap sama dengan saya’.

Kini bandingkan dengan yang kini! Perbedaan yang sebelumnya menjadi barang mewah sekaligus langka, sekarang sudah dijual eceran oleh para pedagang kaki lima. Pada saat itu, Cuma orang-orang yang punya label pemberani sajalah yang berani berterus terang tentang perbedaannya. Bandingkan dengan saat ini. Bahkan Orang Biasa dan penakut seperti saya pun berani untuk bebas.

Semua menjadi sebagaimana sekarang ini keadaannya, tentu tidak jatuh dari langit begitu saja. Ada proses dan perjalanan panjang untuk sampai ke garis ini. Bermula dari Rezim Orde Baru lalu masuk ke era Reformasi.

Diawali oleh Habibie, berlanjut ke Gus Dur, terus Megawati, dan puncaknya hingga saat SBY kini. Kala SBY inilah public bisa dengan leluasa mengeluarkan suaranya. Mau merdu, sendu, mendayu-dayu, nyaring, sumbang, bahkan asbun alias asal bunyi pun tak ada penghalang.

Kalaulah ada serangan balik, biasanya hanya reaksi yang wajar saja. Bahkan, tetap saya anggap masih dalam garis yang sangat wajar terhadap reaksi yang paling berlebihan sekalipun. Mengapa? Karena segala reaksi yang disampaikan sekedar reaksi dengan aksi berbalas pantun belaka.

2 Periode yang telah masuk tahun ke-10 pemerintahannya, SBY tentu sudah lebih dari cukup menikmati masa puja-pujinya. Sudah kenyang pula dengan “bully-bully” yang ditujukan kepadanya. Sudah bisa bersikap lebih bijak dalam menyikapi itu semua.

Saya percaya itu. Masih bisa percaya sebelum SBY menunjuk Palmer Situmorang sebagai pengacara pribadinya. Terlebih lagi, saya merasa ada sesuatu yang goyah pada diri saya semenjak ada somasi untuk Sri Mulyono atas artikel "Anas: Kejarlah Daku Kau Terungkap" nya yang dianggap tidak sesuai fakta.

Saya mengagumi SBY karena SBY adalah presiden yang mau membuka lebar-lebar kran demokrasi agar rakyat leluasa mengemukakan pendapatnya. Bahkan, memberi kesempatan orang untuk membenci, mencaci-maki, dan mem-bully dirinya. Saya ingin mengenang SBY sebagai presiden yang tetap memberikan kebebasan rakyat untuk berpendapat tanpa rasa takut dan was-was hingga berakhir masa jabatannya yang tak sampai setahun lagi. Jika sikap yang demikian tak dapat dipertahankan, maka sebagai orang yang belum bisa setia, tanpa berpikir panjang saya pun sewaktu-waktu dapat saja segera berkemas-kemas untuk pergi meninggalkannya.

Saya lebih senang dan terkesan untuk tetap bisa mengagumi SBY dengan pribadinya yang dahulu. Sebait pantun berbalas dengan sebait pantun pula. Lebih seru saling berbalas pantun ketimbang pantun berbalas hukum. Pantun berbalas pantun. Sungguh tradisi indah.

Meskipun begitu ……. Ah!

Pak SBY, jangan somasi saya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun