2014, sekiranya Megawati Soekarnoputri nekad mencapreskan dirinya, tak ada yang bisa mencegah memang. Hak Prerogatifnya di PDI P memungkinkannya untuk melakukan itu. Perjalanan Sang Ketua Umum PDI P ini pastinya akan semulus jalan tol. Namun nyatanya, realitas punya fakta beda, jalan tol di jajaran elit partai bukan berarti mulus pula jalan di akar rumputnya. Hal ini amatlah disadari oleh Megawati. Elit solid tanpa dukungan akar rumput yang kuat justru menjadi bumerang yang akan menghantam balik dan berpeluang menghancurkan lumbung-lumbung suara PDI P dalam Pemilu nantinya. Mega tak mau membuat pertaruhan besar terhadap hal ini.
Di sisi lain, bak air bah yang tak bisa dicegah, nama Joko Widodo meluncur deras menghantam tokoh-tokoh yang dirivalkan dengannya dalam berbagai simulasi dan survei. Wiranto, Ical, Dahlan Iskan, Prabowo, dan bahkan Megawati sendiri tergerus jauh popularitas dan elektabilitasnya. Mega pun mengalah.
Sejarah kemudian menunjukkan takdirnya. PDIP P berhasil menang pada Pemilu Legislatif 2014 dengan meraup 23.681.471 suara sah atau 18.95% suara. Menyusul di Pilpres, Jokowi berhasil memenangkan pertarungan melawan Sang Jenderal dengan selisih tipis 6,3%. Jokowi -- JK mendapat 70.997.833 suara dan Prabowo Subianto -- Hatta Radjasa memperoleh 62.262.844 suara. Dan semua tahu, dibalik kesuksesan Ir. H. Joko Widodo menjadi Presiden RI ke-7 ada tangan dingin Megawati Soekarnoputri sebagai King Maker.
Menjelang Pilpres 2019, dilema yang pernah dialami Megawati Soekarnoputri  tampaknya terjadi terhadap rival Jokowi pada 2014 silam. Mengenai ini terisyaratkan secara samar oleh selalu tertundanya Deklarasi Pencapresan Prabowo sebagai Capres periode 2019 -- 2024. Meski kader-kader Gerindra secara terang benderang memgungkapkan keinginannya untuk mencapreskan Prabowo Subianto, namun Sang Jenderal belum memberikan jawaban yang terang benderang tentang kesanggupannya tersebut. Bahkan terhadap Rakornas Gerindra 11 April mendatang hampir dipastikan belum ada agenda Pencapresan Prabowo Subianto.
Ketidakbiasaan sikap Prabowo yang tersamar ini dapat dimaklumi sebagai "kegalauan"Â atas aksi reaksi terhadap situasi di luar prediksi tentang munculnya "Sosok Capres Alternatif"Â di luar Jokowi dan Prabowo Subianto. Berangkat dari latar belakang yang sama menjadikan sosok ini menjadi kurang ideal bila dipaketkan bersamanya.
Meski kehadirannya tak sederas banjir bandang yang dengan cepat menghantam dan menggerus elektabilitas sang petahana maupun rivalnya di 2014 silam, tetapi ketenangan "Sosok Capres Alternatif" ini pelahan tetapi pasti mulai menghanyutkan calon-calon lumbung suara untuk bermuara kepadanya. Dan diakui atau tidak, sosok yang diperhitungkan tersebut tak lain adalah Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Selepas pensiun dari TNI dan kembali menjadi warga sipil biasa yang punya hak memilih maupun dipilih, menjadikan sosok Gatot semakin seksi di mata para calon pemilih yang mulai jenuh dengan yang "itu-itu saja". Terlebih track record dan kisah-kisah heroik  sekaligus kontroversialnya semasa menjadi Panglima TNI tentunya diam-diam menjadi catatan plus bagi para simpatisannya. Kehadiran Selendang Putih Nusantaramaupun GNR(Gatot Nurmanto untuk Rakyat) semakin menunjukkan bahwa para pendukung Gatot Nurmantyo benar benar serius mendukungnya. Tinggal selangkah lagi.
Bagaimana Jenderal? Tetap maju atau mau jadi King Maker? Cepat putuskan! Jangan tunggu lama-lama nanti keburu diambil orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H