Mohon tunggu...
Mr Sae Becik
Mr Sae Becik Mohon Tunggu... -

Pemerhati Pembangunan Pertanian dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Yang Terlupakan dari Petani

14 Oktober 2014   21:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_347738" align="aligncenter" width="465" caption="www.republika.co.id"][/caption]

Jika secara obyektif kita melihat kehidupan petani, maka akan mengurai kesimpulan pada diri kita bahwa "SANGAT MENYEDIHKAN". Bayangkan dari seluruh waktu, pikiran dan tenaganya di curahkan dan dihabiskan untuk mempertahankan kehidupanya sebagai petani pangan dan lainya. Pada saat yang sama mereka harus menanggung beban biaya hidup yang cukup berat dengan bertambahnya jumlah keluarga bersama berbagai tuntutanya, sementara income (pendapatan) mereka tidak terlalu besar untuk memenuhi melambungnya kebutuhan hidup.

Seiring dengan perjalanan usahatani mereka,petani juga dihadapkan pada kurang kooperatifnya harga hasil alam mereka terutama produksi pangan semisal gabah. Hal ini ditambah dengan pengusaaan atau kepemilikan lahan mereka ayang relatif kecil, sehingga hasil produksinya hanya mampu untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, selebihnya harus mencari sumber penghasilan dari aktivitas diluar pertanian. Sungguh mereka harus terdampar dan terpaksa menikmati aktivitas hidup mereka ditengah tengah himpitan dan kesulitan akses pasar.

Sementara itu masyarakat kota yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan masyarakat desa selalu dan teriak jika harga harga pangan meningkat, padahal akibat dari kenaikan tersebut tidak sama sekali dirasakan oleh petani namun dinikmati oleh segelintir orang yang bermanuver di pasar dengan kekuatan modalnya melalui permainan supply dan demand produk produk pertanian. Semisal impor beras yang dilakukan beberapa pihak ditengah tengah panen raya sedang di tunjukkan petani,sehingga harga gabah dalam negeri dalam tekanan/serbuan beras impor. Sehingga petani kurang mendapatkan harga yang layak. Sungguh orang kota atas desain orang orang tertentu telah ikut serta menyurutkan keinginan sejahtera masyarakat desa/petani.

Sementara pemerintah melalui kebijakan anggaranya menginginkan petani tetap menjadi mesin produksi dan mempertahankan aktivitasnya sebagai penolong orang orang kota agar tetap bisa makan dengan jumlah yang cukup dan harga yang murah. Namun, sepertinya pemerintah kurang sepenuhnya berpihak pada petani namun lebih nyaman dan berpihak pada pelaku pasar yang kuat secara kapital. Jika boleh meminjam, petani dalam "EKSPLOITASI", untuk meraup keuntungan jangka panjang.

Dimanakah para pembela petani?

Dan sampai kapankah nasip petani selalu akan terus begitu?

Mari kita renungkan, apakah benar ada yang masih sungguh sungguh dan jujur hidup bersama petani kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun