Mapan dulu baru menikah, itu adalah jargon anak dan orang tua saat ini yang sulit terhapus dari kamus hidup. Setidaknya jargon tersebut memberikan isyarat, bahwa membangun rumah tangga harus sama-sama mapan. Studi menunjukkan, bahwa masing-masing orang atau keluarga memiliki alasan yang berbeda beda. Ada yang menyatakan dengan mapan terlebih dahulu kehidupan berkeluarga akan lebih bertahan lama karena dari aspek financial dan sarana sudah terpenuhi. Ada juga yang menyatakan dengan mapan terlebih dahulu calon istri atau suami jauh lebih siap menerima lamaran/tunangan dan secara status sosial lebih baik dibandingkan yang memulai hidup berkeluarga dari nol.Â
Pertanyaan yang patus diajukan adalah? kapankah saatnya mapan dan apakah mapan dahulu menjamain hidup bahagia?2 pertanyaan besar tersebut tentu masing-masing orang tidak akan mapu menjawabnya dengan cepat karena mapan dan bahagia sangat erat kaitanya dengan proses menjalani dan dalam mebangun rumah tangga. Jika ukuran kemapanan harus memiliki rumah dahulu, kendaraan dahulu dan tabungan dahulu, lalu pekerjaan apakah yang harus dijalani dan hingga berapa tahun akan diraih?ini pertanyaan yang lebih tajam lagi.
Memang bahagia dan harta memiliki korelasi yang kuat, namun bahagia tidak identik dengan harta atau fasilitas yang melimpah karena ukuran bahagia erat kaitanya dengan membangun cinta. Jika dengan harta seorang istri dan suami sudah sangat bahagia, lalu mengapa banyak para pasangan keluarga yang mapan dan melimpah harta tidak bahagia dalam membangun keluaraga bahkan berujung pada duka yaitu cerai dan penuh luka. Itu artinya bahwa harta bukanlah alat atau jresep dalam membangun keluarga. Karena porsi tanggungjawab, pengorbanan, saling pergertian, dan saling mengisisi adalah bagian terpenting dari berkeluarga dan cinta akan tumbuh dari proses itu semua. Harta dan fasilitas hanyalah merupakan sub komponen dari perjalanan berkeluarga karena yang lebih berharga dari itu semua adalah cinta pada keluaga.
Cinta akan menghasilkan banyak karya dalam berkeluarga salah satunya adalah bahagia yang tidak terhingga dan harta hanyalah sebagai penyerta dalam perjalananya. Untuk itu sebenarnya berkeluarga tidak  hanya menjadi pilihan tapi menjadi kebutuhan karena seluruh potensi individu bergabung dalam ikatan cinta yang kemudian melahirkan banyak karya yang istimewa yaitu menghadirkan anak/generasi yang memapu menjawab permasalahan peradaban dunia. Generasi yang lahir dari tangan-tangan, otak dan perasaan orang tua yang tangguh dan bertanggungjawab. Bekeluarga bukan hanya menunjukkan status sosial dan ekspresi kemampuan  diri, namun memiliki tanggungjawab masa depan bangsa dan negara sehingga oroentasinya bukan hanya sekedar kepuasan individu tapi dipersembahkan untuk perubahan yaitu menciptakan generasi yang unggul dan tangguh.Â
Jadi memulai keluarga dari titik nol justru akan mampu menumbukan semangat pengorbanan, tanggungjawab dan cinta sejati terhadap pasangan suami istri karena berbagai situasi sulit sudah mampu ia lalui dibandingkan pasangan keluarga yang mampu lebih awal secara finacial dan fasilotas karena proses perjuanganya tidak ia lakukan bersama-sama. Jadi berkelurga juga menyangkut membangun mentalitas dan mentalitas yang matang akan mampu memberikan usia pernihakan yang sangat lama bahkan hingga tua dan meninggalkan dunia. Lalu siapakah yang sesungguhnya berbahagia dalam kehidupanya dari 2 fenomena ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H