Arah pembangunan dan pengembangan sektor pertanian kedepannya harus lebih fokus pada penguatan industri hilir, perluasan pasar dan intensifikasi hal ini sangat penting dalam upaya menjaga dan memperkokohkan kontribusi terhadap devisa negara, peningkatan pendapatan petani, mengantisipasi krisis pangan dan kuatnya persaingan di pasar global. Salah satu kontributor besar terhadap perolehan devisa negara adalah dari sektor perkebunan dimasa mendatang. Untuk itu kinerja dari sektor perkebunan harus terus ditingkatkan dan serius dalam pengelolaanya dengan mempertimbangan 3 aspek penting diatas.
Sektor Pertanian menurut Kuznets memiliki empat kontribusi penting bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, diantaranya: (1) Kontribusi produk: penyediaan makanan bagi masyarakat, penyediaan bahan baku bagi beberapa industri seperti industri makanan, minuman, dan industri tekstil, (2) Kontribusi pasar: terbentuknya pasar untuk beberapa bahan industry dan makanan, (3) Kontribusi faktor produksi: menyebabkan turunnya peranan pertanian di pembangunan ekonomi yang akan berpengaruh terhadap transfer surplus modal dari sektor pertanian ke sektor lain, dan (4) Kontribusi devisa: ekspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor akan menjadi sumber penting bagi surplus Neraca Perdagangan.
Secara spesifik amanat dari penyelenggaran sektor perkebunan dalam upaya untuk: (1) untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (2) untuk meningkatkan sumber devisa negara; (3) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (4) untuk meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar; (5) untuk meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri; (6) untuk memberikan perlindungan pada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat; (7) untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab dan lestari; dan (8) untuk meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan.
Berdasarkan data perdagangan global kondisi bisnis/market share sektor perkebunan akhir-akahir ini mengalami penurunan khususnya pada komoditas karet, kakao, kopi, teh dan tebu. Diduga penurunan ini akibat dari kondisi harga di pasar dunia yang tidak stabil, penurunan produktivitas dan faktor cuaca. Kondisi ini berdampak pada pergeseran peringkat Indonesia sebagai negara produsen dan terkalahkan oleh negara-negara lain. Berdasarkan data saat ini produksi kopi Indonesia tergeser oleh Brazil, Vietnam dan India.Â
Sementara komoditas karet Indonesia tergeser oleh Thailand dan produksi kakao berada di posisi ketiga setelah pantai Gading dan Ghana. Selanjutnya untuk komoditas teh Indonesia dari posisi ke empat menjadi posisi ke tujuh. Akibat dari pergeseran ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap perolehan sumber devisa sekaligus menurunkan pendapatan petani dan bertambahnya angka pengangguran.
Penurunan devisa ini dapat ditunjukkan dari perdagangan komoditas karet misalnya, turun dari 11,4 milyar dollar AS pada tahun 2011 menjadi 3,4 milyar dollar AS pada tahun 2016. Untuk devisa dari komoditas teh turun dari 0,16 juta dollar AS menjadi 0,11 juta dollar ASA pada periode yang sama. Kemudian produksi komoditas kakao tumbuh negatif 7,8 % dan teh negatif 4,5 % dalam lima tahun terakhir (2013-2017).
Jika situasi demikian tidak mampu untuk di atasi segera, maka sangat memungkinkan kontribusi komoditas perkebunan sebagai sumber devisa akan semakin menurun.Â
Padahal realitanya menunjukkan Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan komoditas-komoditas tersebut terutama dari aspek ketersediaan lahan dengan berbagai kelebihan dan potensinya, dari sisi keberagaman agroklimat dan peluang pasar saat ini dan dimasa mendatang. Selain faktor ekternal lain yang menjadi penghambat pertumbuhan sektor perkebunan juga di akibatkan oleh permasalahan internal seperti: (1) belum maksimalnya pergerakan inovasi teknologi, (2) kekuatan dan kemapanan kapasitas sumberdaya manusia dan ketersediaan dan (3) akses modal untuk aktivitas usahatani perkebunan.
Terkait dengan pengaruh internal yaitu belum maksimalnya pergerakan inovasi teknologi harus menjadi perhatian serius seluruh lembaga penelitian dan pengembangan baik di tingkat Kementerian dan Perguruan Tinggi untuk mencari jalan keluar terhadap aspek-aspek penghambat inovasi tersebut misalnya dengan melakukan berbagai terobosan dalam teknologi inovasi untuk memecahkan masalah di aspek hulu, hilir dan aspek regulasi dalam upaya menjadikan sektor perkebunan sebagai sektor handalan dimasa depan baik regulasi anggaran dan akses serta penguasaan pasar ekspor melalui ekspansi pasar.
Kementerian Pertanian melalui Dirjend Teknis harus memaksimalkan peranya dengan melakukan sinergisitas Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dalam upaya memecahkan masalah internal yaitu menurunnya produktivitas komoditas kopi,kakao, teh, karet dan tebu melalui peningkatan kualitas dan kuantitas hasil riset yaitu dengan penciptaan varietas unggul baru (VUB), pengembangan sistem perbenihan, pemantapan dan perluasan diseminasi hasil teknologi komoditas perkebunan terhadap pengguna. Upaya tersebut harus dilakukan secara sistematis, holistik dan berkelanjutan dengan melakukan koordinasi dan sinergisitas dengan berbagai pihak dan stake holder.
Mengingat semakin besar dan kuatnya persaingan pangan pada pasar global dimasa mendatang, diharapkan model pendekatan dan pengelolaan sektor perkebunan terutama dibidang riset dalam upaya memecahkan penurunan devisa akibat menurunya produktivitas perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) melakukan identifikasi permasalahan utama baik teknis dan non teknis terhadap komoditas kopi, kakao, teh, karet dan tebu, (2) memfokuskan penelitian dan kajian terhadap 5 komoditas tersebut secara komprehensip terutama dalam perluasan diseminasinya, (3) melakukan sinergisitas dengan seluruh stake holder terutama perguruan tinggi, lembaga profesi di bidang perkebunan dan BUMN/Perusaann, (4) melakukan promosi secara masif terhadap 5 komoditas tersebut terutama pada tingkat dunia, dan (5) meninjau ulang kembali regulasi/kebijakan (dalam dan dari luar negeri) terutama yang menghambat terhadap pertumbuhan dan kemajuan sektor perkebunan.