Penduduk Indonesia mencapai 250 juta lebih dan tersebar di seluruh pelosok negeri  dengan keberagaman agama, suku dan bahasa. Jumlah populasi ini mencapai angka ke empat sebagai penduduk terbesar di dunia. Angka yang sangat fantatis, bisa menjadi aset/menguntungkan atau sebaliknya yaitu menjadi beban sosial dan ekonomi. Sebagian besar literatur klasik menyatakan, bahwa banyaknya jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam akan menjadi beban bahkan menimbulkan masalah dan kerawanan sektor terutama ekonomi.
JIka melihat luasan wilayah dan potensi yang terkandung baik laut, darat  dan tambang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada sebenarnya masih memungkinkan dan sangat memungkinkan mampu menanggung beban ekonomi penduduk. Permasalahan yang muncul adalah?belum maksimalnya pengelolaan/manajemen dan pengoptimalan potensi SDA yang ada, ditambah lagi distribusi hasil hasil sumberdaya alam dan potensi didalamnya terhadap kesejahteraan rakyat.
Bayangkan, jepang, singapura dan sebagain negara di eropa yang secara luas wilayah dan potensinya sangat terbatas mampu menjadi aktor bahkan pengendali jaringan perdangan dan penguasa dalam hal perekonomian pasar internasional. Jepang sejak mendapatkan tekanan hebat yaitu jatuhnya bom di Hiroshima, yang pada saat itu sekutu Jepang akan tiarap dan tidak mampu bangkit justru saat ini tampil prima mengusai pangsa industri otomotif dunia.Â
Jepang menjadikan tekanan hebat tersebut untuk memutar kenyataan menjadi lebih baik yaitu dengan menerpa dan menjadikan SDM mengusai teknologi. Demikian halnya German dan Singgapura, dengan keterbatasan SDA dan jumlah penduduk mereka maksimalkan seluruh potensi SDM nya untuk mengusai pasar dan mampu menjadi produsen.
Lalu?apa yang salah dari Indonesia? sudah 71 tahun kemerdekaan dinikmati rakyat dan para pengelola negara namun belum beranjak dari masalah utamanya yaitu lemahnya sistem pendidikan, rapuhnya sistem sosial, lemahnya sistem perekonomian dan belum mapannya demokrasi serta politik. Memang 71 tahun tidak bisa dijadikan patokkan sebagaimana usia biologis yaitu sudah sangat matang dan sudah banyak melakukan banyak hal (berkarya), namun 71 tahun adalah waktu yang sangat berharga untuk menemukan dan mendefinikas bentuk serta arah serta tujuan sebagai sebuah bangsa.Â
Negara negara maju lainnya sejak awal mengendalikan dan mengembangkan negaranya fokus pada aspek aspek tertentu sehingga menjadi penciri atau karakter sebagai suatu bangsa, misalnya fokus pada aspek ekonomi dan komoditas tertentu atau pada aspek sektor baik jasa dan industri yang mampu menembus dan diperhitungkan di dunia sehingga menimbulkan kebanggaan bangsa dan generasinya.
Negara yang berkarakter tersebutnlah yang membuat kemudian memiliki bentuk nyata melalui visi dan misi besar untuk mengelola arah dan tujuan jangka panjangnya. Seluruh ptensi anak bangsa dan sumberdaya yang dimiliki di kelola dengan sangat hati hati dan profesional demikian halnya peruntukkanya. Selama ini telah terjadi kesalahan besar dalam pengelolaan seluruh potensi yang ada terutama sumber daya alam. Indoensia sebagai pemilik mutlak sumberdaya alam tersebut hanya mendapatkan sebagian kecil terutama dari sektor tambang dan migas, selebihnya menguntungkan negara lain.Â
Demikian halnya pengelolaan potensi sektor pertanian dan perikanan, kehutanan, peternakan dan lainnya, masih belum memberikan perubahan mendasar terhadap kehidupan petani atau nelayan. Pengelolaan sektor pertanian dan lainnya masih berkutat di aspek hulu sementara aspek hilir belum ditangani secara serius, padahal di aspek hilirlah nilai tambah mampu di ciptakan.
Aspek penataan demokrasi melalui mekanisme politik masih mengarah pada kepentingan golongan dan kelompok, dimana masing masing partai lebih memaksimalkan agenda agenda partanianya dibandingkan memperjuangkan hajat dan kebutuhn rakyat. Partai masih digunakan sebagai kendaraan untuk memeprkuat eksistensi partai dan pengelolanya dibandingkan untuk membangkitkan dan mengubah nasip rakyat.Â
Partai politik tidak dijadikan sebagai intrumen pendidikan politik bagi rakyat namun dijadikan sebagai pembodohan. Praktek transaksi kepentingan dan bisnis sudah sekian lama menindih cara berfikir politikus hingga KKN melegenda dan semakin masif, karena lembaga negara tidak berdiri tegak sebagai pengelola negara dan berjuang untuk negara namun menjadi bagian yang merusak negara yaitu dengan cara cara KKN.Â
Perjalanan dan performance penegakkan hukum tidak berjalan di atas kebenaran dan keadilan, namun masih memebrikan ruang leluasa bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan uang untuk mengendalikan aparat hukum dam lembaganya. Tidak kejahatan terus berjalan dan terbuka bahkan sampai pada ranah penghinaan negara, misalnya pembakaran bendera merah putih dan pengibaran bendera negara lain. Hukum hanya runcing ke bawah sementara ke atas tumpul. Para pelaku kejahatan semakain leluasa untuk mendapatkan keuntungan melalui jalur jalur bisnis, seperti narkoba dan sejenisnya. Mereka tidak jera dan takut lagi karena mendapat perlindungan dari aparat.