Waktu penantian yang meneganggkan berlalu sudah karena perolehan masing masing partai untuk sementara sudah diketahui  melalui versi QUICK COUNT. Banyak penafsiran penting tentunya terhadap perolehan suara masing masing partai terutama oleh partai yang bersangkutan, rival parpol, pengamat politik dan pihak luar negeri.Karena perolehan suara ini mencerminkan 3 hal : (1) menyangkut eksistensi parpol dan perolehan kursi di DPR RI, DPRD dan DPD (yang lahir dari rahim dan usungan partai, (2) terkait pijakkan penting parpol untuk menatap pemilu 2019mendatang (modal dasar), dan (3) menyangkut bergaining atau sikap dalam menghadapi Pilpres 2014.
Partai Demokrat sebagai partai pemenang dan berkuasa selama 2 periode pemilu dengan gaya koalisi tidak mampu mempertahankan eksistensinya di pemilu kali, yaitu hanya memperoleh suara 9,60% jauh dan anjlok dibandingkan perolehan 2004 dan 2009. Para pengamat menyatakan,bahwa penurunan suara yang dratis/terjun bebas ini akibat dari faktor prilaku internal kader/partai demokrat dalam menjaga kepercayaan publik kepadanya yang menyangkut kasus hukum yang menderanya. SBY dan Demokrat tidak berdaya/mampu mengelak dari kenyataan politik ini,sehingga 2014 ini merupakan hadiah/hukuman riil masyarakat untuk Demokrat. Tentu dengan perolehan ini demokrat harus bekerja keras dan siap memperbaiki diri jika ingin membangun koalisi. Karena pengalaman sebelumnya dalam berkoalisi menjadi pil pahit baginya karena tidak mampu mengelola dengan baik yang berujung pada disharmonisasi dengan parpol koalisi karena perbedaan pemikiran dan kebijakkan. Bahkan perolehan suara demokrat nyaris bersanding dengan parpol koalisisnya kecuali golkar yang tetap bertahan suaranya walalupun juga mengalami penurunan.
Kekuatan opini positif yang ingin dibangun Demokrat melalui media masa terutama iklan kampanye, bahwa Demokrat adalah partai yang layak/lebih baik, anti korupsi dan sukses dalam memimpin selama 2 periode gagal, karena publik melihat kenyataan tersebut dengan terang benderang. seolah Demokrat ingin cuci tangan terhadap permasalahan yang ia ciptakan sendiri.
2 Periode mengambil langkah oposisi dengan pemerintahan SBY, PDIP mampu memetik keuntungan posistif dengan memperoleh suara 19,00 % sekaligus memimpin dari partai partai lain. Namun keuntungan yang sama tidak diperoleh oleh mintra oposisinya yaitu Gerindra yang memetik suara 11, 80%. Kedua partai ini membuktikan kesuksesan koalisi saat menembus Pilkada Gubernur DKI dengan menempatkan kandidatnya sebagai Pemenangnya. Namun saat menuju Pileg PDIP dan Gerindra bersama sama memiliki jago Capres yaitu Jokowi dan Prabowo. Saya menyakini, dengan perolehan suara yang tisak mencukupi bagi PDIP untuk melaju capres secara tunggal ada potensi besar PDIP dan Gerindra bersatu untuk satu paket untuk mengusung Jokowi dan Prabowo untuk Pilpres walaupun selama kampanye dua partai ini saling menyerang, namun hal itu di nyakini hanyalah intrik saja.
Kedua partai ini diuntungkan oleh 3 hal dalam mendulang suara, (1) Iklan, (2) Tokoh dan (3) operasi politik ditingkat lapangan yang syarat dengan kekuatan pendanaan untuk mempengaruhi pemilihyang dukung juga oleh emosional idiologisnya. Posisi oposisi PDIP dengan dukungan pemerintahan SBY dengan ending yang kurang menarik membuat pemilih melirik PDIP sebagai partai alternatif. Jokowi efect yang kontroversi inipun juga signifikan pengaruhnya terhadap perolehan suara PDIP walaupun PDIP dan Megawati diam. Demikan halnya dengan Gerindra dan Prabowo yang jauh jauh harisudah habis habisan beriklan fantasis di media masa khsusnya TV dalam upaya meraup suara, tentu berbading lurus antara keluaran modaldan hasil yang didapatkan terlepas dari realita parpol dan kadernya apakah signifikan atau tidak pengaruhnya dalam meraup suara.
Golkar dengan perolehan suara hanya 14,30 % atau turun dari pemilu sebelumnya juga terganjal langkahnya untuk mengususng ARB sebagai presiden karena harus bekerja keras dan cermat memilih koalisi. Golkar juga meraup suara banyak karena efek iklan dan operasi politik yang syarat dengan logistik padahal pada saat yang bersamaan Golkar merupakan partai yang besar tingkat korupsinya sebagaimana halnya PDIP, namun semua opini dan kenyataan ini terkubur karena manuver iklan dan opini yang dibangun oleh organ organ parpolnya melalui media yang dimiliki dan dibayarnya.
Hanura pemilu kali ini harus menelan pil pahit yang sangat pahit karena efek iklan dan display candidat capres dan cawapresnya tidak mampu meraup suara rakyat signifikan. Perolehan suara 5,5% hanyalah mengantarkan Hanura sebagai partai elitis alias belum menyentuh akar rumput. Hanura meraup suara ini diprediksi akibat dari gencarnya iklan dan opini dibandingkan kerja kerja kongkrit dilapangan. Dengan situasi ini Hanura memiliki posisi tawar yang lemah dan pasif.
Demikian halnya Nasdem  dengan perolehan suara 6,90 % tidak mampu menyatakan diri untuk PD mencalonkan Presiden, karena secara obyektif Nasdem partai baru yang belum teruji dan memiliki akar rumput yang kuat. Kalaupun terlihat besar dilapangan dan media, itu semua terbagung karena juga oleh keuatan media dan logistik yang mereka miliki.
Melihat trend dan karakter partai dalam meraup suara tersebut khususnya Demokrat, Golkar, PDIP, Hanura dan Gerindra efek dari iklan, tokoh dan operasi logistik kepemilih  menjadi pemicu utama perolehan suara dibandingkan kerja kerja riil melalui tangan tangan kader dan simpatisnya, artinya kekuatan partai tersebut sangat tergantung dari kemampuan pendanaan yang ia miliki, jika tanpa itu maka dapat dipastikan suara yang mereka raup tidaklah besar. Sehingga pemilih partai tersebut juga dipastikan bukan karena terbangun melalui hubungan emosional, namun hanya karena faktor kepentingan yang ia dapatkan (take ang give) dalam pengertian pemilih dan simpatisan tidak peduli atau mau tahu tentang masa depan partai pilihanya karena kedekatan logistik yang ia dapatkan.
Suara PKS 6,90%, PKB 9,20%, PAN 7,50% dan PPP 6,70% merupakan perolehan suara yang realistik/riil dan konkrit melalui upaya upaya kerja keras kader partai melalui mesin politiknya di akar rumput yag didukung hubungan emosional antara parpol, kader, simpatisan dan pemilihnya. Walaupun partai partai ini menggunakan iklan sebagai upaya meraup suara, namun tidak memberikan efek yang dominan/utama kalaupun ada pengaruh kurang dari 20%. Disamping tidak menjadi terlalu penting dan efektif bagi partai ini, iklan yang dibangun juga harus syarat dengan modal yang besar. Sementara PKS, PKB, PAN dan PPP dalam tradisinya partai menghalalkan cara cara atau menempuh operasi politiknya melalui kehandalan keuangan/kekuatan investor, namun berdasarkan kerja keras tangan tangan kadernya. Keempat partai ini hidup dan besar karena kekuatan hati, tulang pungung dan pemikiranya sendiri tanpa dikendalikan oleh kekuatan diluarnya, sehingga bergerak dan terus bertahan sesuai dengan proses politikdan demokrasi. Seiring dengan soliditas kader dan ketahanan jalan perjuanganya ditengah tengah himpitan partai partai opini dan iklan, ke empat ini akan meiliki potensi besar untuk menang kedepan jika mampu eksis dengan memanfaatkan kelemahan kelemahan yang dimiliki oleh partai opini dan iklan.
PKS, PKB, PAN dan PPP memiliki potensi besar untuk mengusung Capres dan Cawapres tanpa melibatkan partai lain, jika hal ini terjadi merupakan hal yang menarik dan menjadi potensi besar untuk bersaing dengan Calon PDIP, Golkar dan Gerindra. Posisi Demokrat, Nasdem dan Hanura juga menjadi alternatif mitra koalisi 4 partai jika Golkar, PDIP dan Gerindra koalisi mengusung Capres dan Cawapresnya.Posisi Demokrat, Hanura dan Nasdem akan menjadi kekuatan tersendiri jika mengusung juga kandidat dan  suara mereka  cukup yaitu Demokrat 9,60%, Nasdem 6,90% dan Hanura 5,50%.