[caption id="attachment_305429" align="alignleft" width="300" caption="Tuntutan 18 Tahun Penjara Untuk Mantan Presiden"][/caption]
Setelah ditunggu tunggu hampir 11 bulan, akhirnya tuntutan terhadap LHI dengan hukuman 18 tahun menyuara di pengadilan setelah tuntutan yang sama di terima oleh AF yaitu 14 tahun. Terlepas dari fakta persidangan dan permainan yang menyertai kasus ini, KPK dan Pengadilan hanya focus pada 2 orang ini yaitu LHI dan AF, sementara aktor utama dan pihak pihak yang terlibat dalam kasus ini sebagai saksi kunci sengaja ditenggelamkan oleh KPK seperti Sengmen, Bunda Putri, Hatta Rajasa, Dipo Alam, Sudi Silalahi, Yudi Setiawan dan seterusnya. Padahal mereka memiliki keterlibatan dalam kasus ini, yang seharusnya juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Inilah bukti kongkrit KPK dan pengadilan di negeri ini masih bermain main dengan hukum bahkan memiliki upaya mencederai kredibilitas penegakkan hukum. Yudi setiawan sebagai asesoris dalam kasus ini belum tersentuh pengadilan dan sengaja di endapkan, padahal posisi YS sangat penting karena telah banyak kasus yang menderanya dengan merugikan Negara sangat besar. Perjalanan sidang tidak akan berhenti sampai di LHI...masih banyak skenario KPK yang ingin dimainkan untuk melukai PKS.
Inilah pengadilan dan atraksi penegak hukum yang menabrak kaidah kaidah hukum dan lebih mementingkan arogansinya. Kemanakah keadilan dan kebenaran itu sesungguhnya?
Tuntutan Persidangan dan Lemahnya Fakta
Jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan suap impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TTPU) dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq, tidak mengindahkan fakta-fakta persidangan, sehingga tuntutannya sama persis dengan dakwaan. "Seperti copy paste," kata penasehat hukum LHI, Zainudin Paru dalam keterangannya, Kamis (28/11/2013).
Semestinya dasar untuk mengajukan tuntutan berbeda dengan dakwaan karena muncul fakta-fakta persidangan yang mementahkan dakwaan.
Zainudin mencontohkan soal telepon Ahmad Fatanah (AF) kepada supirnya, Alul, yang menjadi dasar penangkapan LHI. Baik dalam BAP maupun dakwaan disebutkan AF menelepon Alul dan mengatakan: "Alul, jangan jauh-jauh dari mobil ada daging busuk Luthfi."
Di persidangan, atas permintaan penasihat hukum LHI, rekaman percakapan diperdengarkan. Ternyata AF mengatakan: "Alul jangan jauh-jauh dari mobil, ada daging busuk!" Tidak ada nama Luthfi disebut dalam percakapan yang sesungguhnya.
Majelis hakim sempat terkaget-kaget mendengarkan rekaman itu, dan meminta diputar ulang hingga tiga kali. Pasalnya, percakapan inilah yang menjadi dasar penangkapan LHI oleh petugas KPK.
Namun dalam tuntutan, jaksa tetap saja menggunakan keterangan yang ada di BAP dan dakwaan, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan percakapan yang sebenarnya.
Kemudian soal uang Rp1 miliar, yang dalam dakwaan jaksa diperuntukkan untuk LHI. Dalam persidangan terungkap, uang tersebut oleh AF akan digunakan untuk membayar uang muka pembelian mobil Mercy S200 sebesar Rp400 juta dan membayar biaya disain interior yang dipesan AF sebesar Rp495 juta.
Ini terungkap dari kesaksian Felix Radjali, seorang sales dari Williams Mobil. Dalam kesaksiannya Felix menyatakan, pada tanggal 29 Januari 2013 pukul 15.00 WIB, dirinya dikontak oleh AF untuk datang ke Hotel Le Meredian guna mengambil uang muka pembelian mobil. Felix tiba sekira pukul 17.00 WIB, dan langsung menghubungi AF.
Oleh AF, Felix diminta menunggu. Namun hingga pukul 19.00 WIB AF tidak muncul sehingga ia memutuskan pulang. Dalam perjalanan pulang ia ditelepon istri AF, Septi Sanustika yang mengabarkan AF ditangkap petugas KPK.
Demikian juga dengan saksi Ilham dari sebuah perusahaan disain interior. Pada tanggal 29 Januari 2013 itu dia juga diminta datang ke Hotel Le Meredien untuk mengambil uang pembayaran disain interior yang dipesan AF sebesar Rp 495 juta. Namun uang pembayaran tak jadi diterima karena ia tidak sempat bertemu AF.
"Fakta-fakta ini tidak diindahkan jaksa, sehingga jaksa menyatakan uang itu untuk LHI," ujar Zainudin.
Terkait tuntutan jaksa agar terdakwa dicabut haknya untuk memilih dan dipilih, Zainuddin menganggap hal itu berlebihan, mengada-ada, dan tidak tidak beralasan hukum.
"Kasus korupsi berbeda dengan kasus subversif. Jadi tuntutannya kembali pada tertib KUHAP. Jika terbukti bersalah dituntut dengan nominal hukum. Jika tidak terbukti ya dibebaskan demi hukum," jelas dia.
Zainudin berharap, majelis hakim tidak mengabulkan permintaan jaksa. "Kami, tim penasihat hukum berkeyakinan majelis hakim akan memperhatikan fakta-fakta persidangan, mengadili dengan nurani, sehingga menolak tuntutan jaksa,” tandasnya.
Pembentukan Kekuatan Opini dan Fata Persidangan
Disisi lain mari kita bedah proses persidangan dan hasil tuntutan LHI. Sungguh ironis dalam sejarah penegakkan hukum di Indonesia.
Banyak pihak termasuk termasuk pakar hukum, mafia kasus hukum dan pihak penasehat hukum LHI, sebenarnya tidak terlalu kaget dengan nekadnya KPK menuntut LHI 18 tahun penjara.
Sebab besaran tuntutan kini ditentukan opini yg diciptakan di luar sidang dibanding fakta persidangan. Bila kita mengaca ke fakta sidang. Apakah suap 1,3 M telah terjadi dlm kasus LHI seperti dakwaan KPK?
Fakta pertama KPK tak bisa buktikan uang itu benar-benar sampai ke LHI. KPK baru bisa buktikan sampai ke AF.
Total 1,3 M itu diberikan dalam 2 tahap yaitu 300jt sebagai permulaan dan berikutnya diberikan kpd AF 1 M saat ketangkap tangan KPK. 300jt yang diberikan Indoguna telah habis dipakai oleh fathanah untuk keperluan dia sendiri yaitu mengurus proyek PLTS(Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Berikutnya uang 1 M diterima AF dan di hotel Le Meridien uang itu hendak dibayarkan ke Felix Radjali (sales dari Williams Mobil) sebesar 400 juta sbg pembayaran mobil. Sekitar 495 juta lainnya akan dibayarkan AF untuk pembayaran interior kepada Ilham sebagai pihak yg mengerjakan interior. Tak ada satu rupiah pun diterima LHI ))
KPK hanya meyakini sekalipun uang itu belum sampai ke LHI, sudah ada kesepakatan AF dan LHI urus kuota. ukti yg disodorkan KPK adalah rekaman penyadapan LHI-AF sbg bukti petunjuk.
Mengapa petunjuk? Sebab sadapan itu tak menunjukan jelas adanya kesepakatan urus kuota indoguna. Yang ada baru indikasi wacana janji suap sepihak dari AF ke LHI bila urus kuota indoguna. Selama persidangan, jaksa gagal mengaitkan pemberian dana dengan jabatan atau kewenangan LHI sbg syarat mutlak perkara ini untuk disebut SUAP.
Fakta sidang kedua; KPK tak bisa buktikan isi pertemuan indoguna dan mentan utk naikkan kuota indoguna.
Pertemuan itu hanya bicara soal salahnya data kementan soal stok daging hingga kuota impor TOTAL turun. (baca: Mentan Berdebat dengan Bos PT Indoguna -vivanews). Untuk kepentingan siapakah adu data kecukupan daging nasional itu?
Apakah jika indoguna bisa yakinkan data mentan salah, indoguna pasti diuntungkan? Importir daging bukan hanya indoguna. Ada importir daging lainnya.
Sampai disini fakta kedua ini tak meyakinkan ada kausalitas naiknya kuota indoguna dg pertemuan medan. Dan faktanya kuota indoguna memang tidak naik dan fakta juga mentan tak berubah keyakinannya.
Kaitan fakta ini dg PMH (Perbuatan Melawan Hukum) LHI, apakah ada pelanggaran dilakukan LHI fasilitasi rakyat adu data dg mentan? Untuk soal ini kami sependapat dg bung @Alejandro_Law17. Tak ada pelanggaran hukum krn memfasilitasi adu data tsb.
Itu dari sisi fakta hukum. Sekarang mari kita kupas dikit logika hukumnya. Kita abaikan fakta hukum yg sebenarnya tak mendukung dakwaan prediket crime KPK pada LHI yaitu suap.
Darimana logikanya LHI terbukti terima suap 1,3 M bila uang itu tak pernah sampai kepadanya? Itu sebabnya jaksa membelokan tuntutannya ke pasal 12 huruf a bukan pasal 5 ayat 2 atau pasal 5 ayat 1.
Pasal 12 huruf a ini, tuntutan pembuktian PMH nya memang lebih mudah dari pasal 5 UU Tipikor. Pasal 12 cukup dg menduga gratifikasi itu (1,3 M) terkait kewenangan dan jabatan LHI sebagai "penyelenggara negara".
Ingat... kewenangan LHI sbg penyelenggara negara yaitu anggota DPR bukan Presiden PKS. Lalu bagiamana mengaitkan kewenangan LHI yg di DPR anggota Komisi I sementara mitra kementan adalah komisi IV?
Utk menutupi ini, KPK kaitkan posisi LHI sbg presiden PKS dan mentan adalah kader PKS. Kesannya klop.
Ini sebabnya dari awal pihak PKS melihat ada ‘AMBIGUITAS’ KPK dlm mengkontruksikan dakwaan ke LHI. (ambiguitas: kalo pake pasal 12 harusnya konsistentempatkan LHI sbg "penyelenggara negara" yaitu anggota DPR, bukan sebagai Presiden PKS -red)
Lalu dengan ambigiutas konstruksi hukum dan belum jelasnya LHI terima gratifikasi, bagaimana hakim buat vonis?
Dalam situasi seperti saat ini, kami ragu hakim berani buat vonis beresiko diserang opini publik. Apalagi hakim2 tipikor saat ini sudah dlm situasi terpaksa 'mengentertain' KPK.Bila tidak, selain diserang opini yang sudah dari awal dibentuk utk sudutkan LHI, juga dapat ancaman lain.
Ancaman itu bisa diincar KPK seperti hakim yang bebaskan bupati bekasi dulu di PN Tipikor Bandung. Saat itu KPK sadap hakim Comel berminggu-minggu, tapi yg ketangkap hakim PN Bandung dan Toto Hutagalung cs.
Inilah cara berfikir penegak hukum kita yang masih memenuhi nafsu kotornya, tidak bisa mebedakan mana fakta dan bukan fakta. Penegakkan hukum seperti cerita fiktif yang tidak pernah ada ujung. Masa depan penegakkan hukum semakin tidak jelas karena ulah para pecundang hukum.
Semoga ada keberanian dari pihak yang masih memiliki nurani dalam penegakkan hukum, keadilanan dan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H