Salah satu konsekuensi hasil Pilpres selisihnya tidak banyak adalah tingkat kepuasan masyarakat tidak dominan. Pun demikian dengan pemodal pemilik media, ada yang bergabung dengan Capres Prabowo akhirnya sampai sekarang berita positif apapun tetap dikupas secara negatif.
Di media sosial, ada salah satu orang yang mengaku penulis best seller kebetulan bencinya ke ubun-ubun sama Jokowi. Jadi apapun yang berbau Jokowi pasti dibuat negatif. Jangankan Jokowi, para pendukungnya juga dihabisin. Orang sekelas Prof Quraish yang diakui dunia internasional saja di fitnah. Padahal sesama muslim tidak boleh begitu.
Jonru atau nama lahirnya Jon Riah Ukur lupa bahwa seakan-akan kita bebas berbicara di media. Bahkan berdebat yang ujungnya masuk penjarapun berani kita hadapi. Atau kita sangat percaya, orang tua dan istri bisa kita jelaskan kenapa kita harus memfitnah orang.
[caption id="attachment_381410" align="aligncenter" width="536" caption="Salah satu permintaan maaf Jonru"][/caption]
Namun dia lupa, bagaimana anak-anaknya kelak? Iya kalau Jonru berumur panjang bisa menjelaskan dan si anak bisa menerima penjelasan kenapa ayahnya sangat membenci presiden ketujuh Indonesia. Bagaimana kalau tidak berumur panjang? Ingat, segala jejak kita di media sosial atau di jaman internet sekarang ini berbeda dengan jaman dulu.
Jaman dulu kita bisa mengumpat atau misuh seenak kita sendiri, tanpa saksi kita bisa membantah kita berlaku demikian. Tapi era sekarang? Entah sudah berapa orang menyimpan status fitnahan Jonru pada para tokoh dan juga sang presiden. Jokowi pasti tidak mau urus fitnah Jonru, tidak level. Tapi bagaimana status yang sudah tersimpan termasuk perdebatan panjang dengan Ahmad Sahal atau Budi Sudjatmiko di twitter?
Data itu akan tersimpan sampai kapanpun sebab sudah di kloning, digandakan, disebar ke berbagai media. Begitu anak Jon Riah Ukur tumbuh remaja dan dewasa, serta tidak sepakat dengan apa yang didebatkan sang ayah, apa yang akan terjadi?
Saya membayangkan dirinya mengurung diri di kamar, tidak mau bertemu siapapun. Bahkan trauma melihat gadget atau smartphone. Batinnya kecewa berat dan marah serta ketidakmengertiannya kenapa sang ayah begitu membenci seorang presiden bahkan tokoh-tokoh Islam. Disisi lain, tidak ada karya ayah yang bisa dibanggakan. Bahkan acara yang diadakan ayahnya hanya diikuti oleh 10 orang.
Si anak itu tetap tidak mau makan, raganya terasa tak berdaya. Tak berani keluar kamar, merasa rendah dan tak punya harga diri atas apa yang sudah berlalu. Di sekolah, hampir tidak ada yang bersedia berteman dengannya. Disadari atau tidak, masa depannya begitu suram. Anak itu masih kuat ingatannya saat membuka amplop besar kiriman orang tak dikenal.
Begitu dibuka, amplop berisi segala status ayahnya baik di facebook, twitter, blog, foto, olahan gambar dan lainnya. Kertas itu langsung dibakarnya hingga sempat merembet ke gorden. Tetangganya yang cekatan berhasil memadamkan api. Namun jiwanya tergoncang dan terus saja ingatannya terpaku pada status ayahnya.
Status demi status tentang fitnah yang tak pernah benar, membabi buta bahkan malah menshare informasi yang menyesatkan menyebabkan si anak seperti di rajam. Ah, aku serasa berada disebelahnya dan tiba-tiba dia berkata "Om, bila om hidup dimasa dimana ayah masih aktif bersosial media, ingatkan beliau om.... tolonglah om.... ini demi masa depan kami......."