Korea Selatan terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi pertumbuhan masyarakat-nya diberbagai bidang seperti sosial, ekonomi, politik, hingga budaya. Hal ini menjadikan mereka sebagai salah satu negara maju dengan tingkat GDP tertinggi ke-empat diwilayah Asia. Tetapi, permasalahan terkait kesetaraan gender tidak sebanding dengan keunggulan mereka, dimana marak terjadinya kegiatan atau aksi yang merugikan kaum perempuan. Perempuan di Korea Selatan kerap memiliki batasan dalam berekspresi atau tidak bebas dalam membuat keputusan, sehingga mengalami diskriminasi hingga kekerasan.
Sebelum kita membahas lebih dalam, kita perlu tahu mengenai apa itu feminisme? Feminisme adalah pendekatan interdisipliner terhadap isu-isu kesetaraan berdasarkan seksualititas, identitas, hingga ekspresi gender sebagaimana dipahami melalui teori sosial dan politik. Topik mengenai feminisme ini sudah ada sejak akhir abad ke-18, namun berkembang menjadi fokus studi sosial dan politik sejak akhir 1990-an. Keberadaan pihak yang menentang feminisme disebut Anti-Feminisme, dimotivasikan oleh kepercayaan bahwa pada dasarnya kodrat kaum perempuan/wanita berada dibawah laki-laki/pria. Anti-feminisme juga merasa bahwa tindakan feminisme membuat tertindas atau tersainginya kaum pria di berbagai aspek.
- Kemunculan Anti-Feminisme di Era Modern Korea Selatan
Berkembangnya pria muda yang menentang kaum feminisme muncul dari pemahaman meritokrasi dan misogini yang sejak dahulu tertanam di budaya Korea Selatan. Pemahaman ini berpandangan bahwa wanita layak di “nomor dua” kan dan tidak layak di posisi yang didominasi oleh pria, serta pandangan misogini menjadi wujud atau bentuk kebencian terhadap eksistensi wanita. Sektor lapangan kerja menjadi salah satu pemicu meningkatnya tingkat anti-feminisme, dimana pria berumur dibawah 30 tahun banyak mengalami pengangguran karena kriteria lapangan kerja semakin luas hingga perempuan dapat bekerja di sector yang didominasi oleh laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Keberadaan komunitas feminisme diisu-kan semakin terancam mengetahui Pilpres Korea Selatan Maret 2022 lalu, dimenangkan oleh Yoon Suk-Yeol seorang politisi yang terkenal dengan gerakan anti-feminisme-nya. Banyak masyarakat mengatakan bahwa Yoon memenangkan pemilihan dengan cara menarik perhatian laki-laki yang cemas akan kehilangan “tempat” kepada perempuan. Salah satu kampanye Yoon yaitu menyerukan bahwa Kementrian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan (MOGEF) dihapuskan. Dia menyalahkan rendahnya angka kelahiran di negara disebabkan karena feminisme yang mencegah hubungan antara pria dan wanita.
- Feminist Konstruktivisme
Mungkin kalian bertanya-tanya, bagaimana teori feminis konstruktivisme dapat berkaitan dengan eksistensi feminisme di Korea Selatan? Dengan adanya pemimpin negara baru yang bertentangan dengan ajaran komunitas, keberadaan komunitas feminisme telah mengubah tatanan atau kebijakan negara melalui identitas. Kebijakan yang direncanakan oleh Yoon Suk-Yeol yang sudah disampaikan diatas menjadi bentuk keyakinan bahwa gender adalah sistem praktik sosial yang mengelompokan laki-laki dan perempuan berbeda secara sosial. Korea Selatan sebagai tempat yang sangat didominasi laki-laki telah lama memiliki catatatan buruk tentang hak perempuan. Keberadaan feminis di Korea Selatan ini mengungkapkan kondisi politik dalam setiap aspek, sebagai contoh yaitu kampanye Yoon Suk-Yeol terkait kebijakannya yang berusaha menarik perhatian laki-laki khusunya berumur dibawah 30-an.
Kritik utama dalam kehadiran feminis di aspek penting Korea Selatan seperti ekonomi, politik, sosial-budaya belum mendapat banyak perhatian media, karena lebih banyak perhatian yang diberikan terhadap argumen dibelakang feminisme, dalam kasus ini adalah pengangguran. Padahal, komunitas teresbut hanya menginginkan pembentukan norma domestik yang memberi perhatian terhadap eksistensi perempuan. Hal terebut membuktikan teori konstruktivisme, bahwa pada dasarnya dunia sosial bukanlah sesuatu yang diberikan, namun diperjuangkan guna mencapai identitas dan kepentingan aktor tersebut.
- Upaya Komunitas Feminis Korea Selatan Mempertahakan Eksistensi
Para feminis Korea Selatan telah memperjuangkan eksistensi mereka dalam mendukung dan membela hak-hak perempuan agar memiliki kesetaraan dalam berekspresi dengan laki-laki. Permasalahan seperti ketimpangan pendapatan, keterbatasan lapangan kerja, dan-lain-lain telah menjadi perhatian utama sejak awal tahun 2000-an. Keberadaan Kementrian Kesetaraan Gnder dan Keluarga (MOGEF) telah banyak membantu dalam memperkecil kesenjangan antar gender. Dalam pemerintahan Moon Jae-In sebelumnya, ia telah berhasil dalam memberi anggaran dan kepercayaan kepada kementrian tersebut guna memajukan undang-undang kesetaraan gender dan undang-undang tentang kekerasan terhadap perempuan.
Eksistensi para feminis dianggap sulit dipertahankan saat Yook Suk-Yeol memenangkan pilihan presiden 2022. Padahal, mereka menginginkan adanya representasi perempuan dalam pemilihan presiden kemarin. Keberadaan perempuan di Korea Selatan dibantu melalui organiasasi Korean Women Association (KWAU) dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Upaya yang dilakukan organisasi tersebut mencakup keterlibatan lansung di pemerintahan, melakukan lobby politik, terlibat dalam perncangan undang-undang, hingga mengajukan dan mengawasi kebijakan. KWAU banyak melakukanpendekatan dengan masyarakat melalui penyedian ruang publik dalam menyuarakan aspirasi, menyelenggarakan event yang melibatkan aktivis perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H