Saya sudah yakin, dengan segera pesan ini akan sampai di telinga perempuan pemilik rahim tempat aku lahir itu, dia ibu saya.
Selain saya sudah terbiasa di rantau, beberapa hal yang menjadi alasan tidak bisa mudik tahun ini termasuk imbauan pemerintah tentang larangan mudik. Saya sepakat dengan kebijakan pemerintah indonesia, tujuan imbauan ini menurut saya sangat sederhana " upaya mencegah agar virus tidak meluas menular ke daerah-daerah, terutama orang tercinta di rumah (keluarga)"
Saya tahu, ketika virus corona menginfeksi sudah ribuan orang indonesia yang menyebabkan korban jiwa. Kota/daerah tentunya mengeluarkan imbauan yang sama seperti yang di keluarkan pemerintah indonesia, larangan mudik tahun 2021. Walaupun, banyak orang seakan menantang bahwa ini pembatasanlah, alasan dll tetapi menurut saya imbauan tidak mudik 2021 adalah kepentingan kesehatan secara nasional. Percayalah.
Di balik terkaan saya tentang berbagai upaya kesehatan dan tuntutan pulang merupakan keharusan, tidak sadar. Pesan yang saya terima adalah pesan yang kelima. Dua kali menurut saya, pesan untuk mengharapkan jawaban kepastian saya tentang kapan bisa lebaran bersama dengan mereka.
Kalau ditanya mengapa tidak video call saja karena kita ada zaman sudah modern. Saya balik bertanya, dosa anak yang meneteskan air mata ibu itu sebesar apa? Itu ketakutan saya.
Saya sudah beberapa kali tidak menjawab pesan kakak saya, juga sudah berapa kali tidak menerima telepon dari mereka. Bingung sebenarnya harus bicara apa lagi ketika tuntutannya mereka adalah harus lebaran bersama dengan mereka. Saya tahu, smua hal yang disampaikan kakak adalah keluhan ibu saya, itu pasti.
Mau telpon tidak berani, pesan wa hanya ketik lalu hapus lagi, ketik lagi dan hapus. Tidak bisa berkata apa-apa selain menahan rasa ingin berkumpul pada lebaran tahun ini. Rumah, tempat cinta dan rasa sayang tumbuh, kekuatan mengnetnya menarik dengan keras, sangat keras melahirkan banyak kenangan romantis dan kasih sayang mereka, ah aku rindu.
Sebelumnya saya pikir mereka terutama ibu akan terbiasa dengan tidak hadirnya saya dari tahun ketahun dalam setiap lebaran tidak bisa bersama dengan mereka. Dan dugaan saya salah, ibu tidak terbiasa dengan apa yang saya pikir. Buktinya, setiap moment ramadhan dan lebaran datang, pesannya masih sama "kapan kamu lebaran bersama di rumah?"
Ini sudah kelima kali pesan dari ibu, sebenarnya tidak berani untuk buka pesan itu karena saya sudah yakin pertanyaannya pasti bikin pikiran kita seakan meledak dan tidak mau berpikir lagi. Seandainya, mereka dan ibu tahu bagaimana menahan rasa pedih tidak menjawab tanya seorang ibu, mereka tidak akan amenanyakan berulang kali tentang hal itu.
Saya merasa paling tega terhadap mereka terutama ibu saya, setiap kali mereka tanya, setiap kali juga mereka harus rela dan menerima jawaban "tidak" dari saya. Rasanya sangat berat, memilih untuk menunda menjawab, saya tidak mau menjadi anak yang mengantung harapan orang tua untuk satu jawaban dari pertanyaan rindu yang mereka layangkan.
Jarak antara Batam dan Maluku Utara terlampau jauh, pesan pertama telah saya terima dua hari sebelum puasa ramadhan tahun ini, dan jawaban yang sama saya berikan serta menerima segala bentuk isak tangis setelah mereka mendengar jawaban yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Astaga.