“May day, may day...”, kata yang sempat diucapkan pilot pesawat tempur Angkatan Laut Amerika Serikat disaat Jepang menggempur pangkalan AL mereka di Pearl Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941. Penyerangan secara tiba-tiba yang dilakukan oleh Angkatan Laut Jepang tersebut dikisahkan dalam sebuah film perang yang disutradarai oleh Richard Fleischer, Tora! Tora! Tora!. Dimana pada penyerangan itu pihak Amerika Serikat mengalami kerugian berupa rusaknya kurang lebih 20 kapal perang, 188 pesawat tempur dan 2.403 korban jiwa. Sementara pihak Jepang hanya kehilangan 55 pesawat tempur dari 441 pesawat tempur yang telah dipersiapkan.
Masih segar dalam ingatan, tanggal 1 Mei baru saja berlalu ditandai dengan jutaan buruh di seluruh dunia turun ke jalan memperingati Hari Buruh Sedunia yang dikenal dengan istilah May Day. Namun May Day yang satu ini berbeda dengan May Day dalam kisah serangan Jepang terhadap Amerika Serikat. May Day yang konon dilatarbelakangi oleh sejarah unjuk rasa besar-besaran yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1886 ini terkait dengan tuntutan buruh untuk menurunkan jam kerja menjadi delapan jam. Pada saat itu, buruh dipaksa harus bekerja antara 19 hingga 20 jam sehari. Peristiwa yang dikaitkan dengan tragedi Haymarket, dimana polisi menembaki para demonstran yang turut dalam aksi unjuk rasa itu disusul dengan aksi perlawanan oleh para kaum buruh, menjadi Hari Buruh Sedunia, yang juga imbasnya dirasakan di Indonesia.
Lain kemarin, lain pula hari ini; begitu istilah yang sering kita dengar untuk mengisahkan suatu kejadian yang berbeda. Hari ini, tepat tanggal 2 Mei 2012 bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional yang gaungnya dikumandangkan ke seantero nusantara. Hari yang dikaitkan dengan kelahiran seorang tokoh nasional Ki Hajar Dewantara selaku bapak perintis pendidikan bukanlah semata-mata sebagai sebuah momen peringatan nasional, namun juga sebagai pengingat sekaligus juga momentum untuk makin memperkokoh komitmen bangsa Indonesia tentang pentingnya arti pendidikan.
Setiap tahun bangsa besar ini merayakan Hari Pendidikan Nasional, namun setiap tahun wajah pendidikan nasional negeri ini tak pernah membaik. Bahkan fakta dilapangan mengatakan justru wajah pendidikan Indonesia semakin carut marut. Meningkatnya anggaran pendidikan bukanlah ukuran kesejahteraan bidang ini. Karena anggaran yang tinggi tidak didukung oleh orang-orang yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi untuk memajukan pendidikan. Alih-alih memperbaiki kondisi pendidikan, justru anggaran besar itu bagaikan santapan empuk di depan serigala liar yang kelaparan. Di hari yang bersejarah ini, salah satu televisi swasta nasional memberitakan adanya kecurangan dalam pengalokasian dana pendidikan. Temuan BPK di Kemendiknas mengungkapkan fakta bahwa ada pembayaran ganda atas honorarium dan perjalan dinas para penyelenggara pendidikan yang nominalnya mencapai US$ 61.000. Temuan lain pun mengungkapakan fakta adanya banyak kasus pembelian tiket atas nama satu orang untuk tujuan ke beberapa tempat berbeda dalam waktu yang sama, yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa, kecuali ia bisa membelah diri menjadi beberapa bagian. Fakta kecurangan mengungkapkan adanya penipuan pembelian tiket ini sebanyak 5.700 tiket dan negara dirugikan sebesar Rp. 13.5 milyar.
Cerita sehari-hari tentang sekolah yang ambruk, murid-murid harus belajar sambil berdiri, beberapa kelas digabung menjadi satu karena ketidaktersediaan kelas yang memadai sehingga hiruk pikuk mirip dengan pasar tradisional, sekolah yang tak ubahnya bagaikan kandang binatang (karena memang hewan piaraan ikut masuk kelas), murid-murid yang harus bertaruh nyawa untuk mengecap kenikmatan yang namanya pendidikan dan jutaan kisah pilu lainnya seakan menambah panjang deret pekerjaan rumah yang setiap masa terus bertambah dan entah kapan terselesaikan.
Dalam UUD 1945 amandemen, Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31, ayat 1 menyebutkan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sementara jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-undang no. 20, tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab”. Sebagai dasar negara yang salah satunya mengatur masalah pendidikan, sudah semestinya pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemendiknas menjadi ujung tombak terlaksananya peraturan tersebut dan mengawal serta mengawasi agar dana, sarana dan infrastruktur yang tersedia benar-benar digunakan sebagaimana tujuannya. Namun sayang, realita yang terpampang di depan mata sangat jauh panggang dari pada api. Institusi pendidikan dari mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang seyogyanya menelurkan insan-insan berpendidikan dan bermartabat justru malah menjadi lembaga yang tak ubahnya hanya sebagai lahan bisnis semata.
Pendidikan seharusnya menjadi sentral bagi pembentukkan martabat dan karakter suatu bangsa. Soekarno, presiden pertama RI pernah berkata,”Berikan aku sepuluh pemuda yang sehat dan cerdas, niscaya aku guncangkan dunia”. Hal lain tentang pendidikan yang bisa kita contoh adalah sikap dan kebijakan pemerintah Jepang dalam hal pendidikan. Jepang mengalami perubahan besar-besaran pada saat terjadinya restorasi Meiji, dimana terjadi perubahan besar-besaran terhadap struktur politik dan sosial pada masa itu. Sebuah doktrin penting tentang pendidikan yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pendidikan pertama kali dirumuskan oleh Fukuzawa Yukichi. Dalam bukunya yang berjudul Gakumon No Susume (sebuah dorongan pembelajaran), ia mengatakan bahwa kedudukan seseorang dalam suatu negara ditentukan oleh status pendidikannya, bukan nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisannya. Dengan kata lain derajat seseorang ditentukan oleh keilmuannya, bukan segala titel dan embel-embel yang menjadi warisannya sejak lahir. Bahkan Allah SWT berfirman dalam surah Al-Mujaadilah ayat 11,”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Gempa literasi yang disulut dan dimotori oleh salah satu tokoh nasional kenamaan, Gola Gong, di seantero negeri yang bahkan gaungya sampai ke tujuh negara Asia dan timur tengah terasa bagaikan angin segar yang berhembus diantara panasnya dan gersangnya terik mentari. Upaya untuk menyadarkan anak negeri tentang pentingnya baca dan tulis terus bergulir bagaikan bola salju yang kian hari kian membesar. Tentu bola salju yang merupakan upaya untuk mengembalikan eksistensi pendidikan akan terus semakin membesar jika pemerintah dan wakil rakyat turut berpihak. Namun entahlah, seakan harapan itu masih hanya sebatas harapan manakala realita yang terpampang didepan mata sungguh menyayat hati. Pendidikan, nasib guru yang tidak selalu membaik, kemiskinan dan embel-embel yang mengikutinya seakan hanya masih sebatas komoditas politik yang tak pernah bosan dikumandangkan demi menarik simpati rakyat.
Semoga saja, dimasa yang akan datang akan lahir generasi yang siap melakukan restorasi dan membalikkan stigma negatif terhadap negeri gemah ripah loh jinawi yang bernama Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H