Oleh : M. Saddam SSDC*
“Membangun kreatifitas generasi muda Indonesia melalui perjuangan RA. Kartini sebagai agent of change” adalah tema dari sebuah ajang kompetisi menulis yang diselenggarakan secara online oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Unila dalam rangka merayakan momentum hari Kartini ke-49 pada tahun 2013 ini. Saya sendiri sangat mengapresiasi berbagai upaya kreatif yang dilakukan oleh kolektif pengurus organisasi ini, termasuk untuk menyelenggarakan sebuah kompetisi menulis. Mengingat bahwa di era semakin kerasnya gempuran budaya popular-liberal dalam kehidupan mahasiswa seperti sekarang ini, keterampilan menulis essay nyaris sudah tersisihkan bahkan terkubur oleh tumpukan celotehan ringan di jejaring sosial.
Tulisan yang mengulas dan mengkaji Raden Ayu Kartini, seorang perempuan muda dari keluarga ningrat asal Jepara jawa Tengah yang kontroversial ini tentu sudah begitu banyak dan berulang kali dilakukan, dengan berbagai sudut pandang, fokus dan penulis yang juga berbeda latar belakang serta tujuannya. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan semangat saya untuk turut menulis, meski harus saya akui agak sulit menentukan gagasan utama yang sesuai dengan tema, kualitas karya tulis saya boleh jadi jauh dari kesempurnaan, namun tetap berharap setidaknya dapat memperkaya kajian tentangnya.
Kembali Berkenalan
Mendiang RA. Kartini (1879 - 1904) mungkin adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang paling diistimewakan sepanjang zaman. Sejak masih hidup, ia telah menjadi perhatian banyak kalangan, terutama dari Bangsa Belanda golongan etis yang kerap menelurkan gagasan pembaharuan dalam praktik kolonial di Nusantara pada akhir abad 19. Aktivitas korespondensi Kartini yang pandai berbahasa Belanda dengan beberapa orang teman pena nya di negeri penjajah sanalah yang paling mengundang perhatian.Dalam surat-surat tersebut ia mengungkapkan berbagai penggalan gagasan yang didorong oleh keresahan mendalam tentang emansipasi dan hak-hak kaum perempuan, pendidikan umum, sistem dan kelas sosial, budaya feodal, praktik kolonialisme, penegakkan hukum, dan berbagai masalah sosial bahkan politik lainnya. Beberapa tahun setelah ia wafat, seorang birokrat Belanda mengumpulkan surat-surat itu untuk diterbitkan menjadi sebuah buku legendaris berjudul Door Duisternis Tot,lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Secara resmi, bersama Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Ia dianugerahi sebagai pahlawan kemerdekaan nasional perempuan pertama di Indonesia melalui Keppres RI No. 106/1964, hal ini terjadi setelah presiden Soekarno diprotes oleh Gerwanisebuah organisasi perempuan termaju zaman itu, karena dua puluh sosok pahlawan nasional yang diangkat Presiden sebelumnya, kesemuanya adalah laki-laki. Gerwani sendiri telah lebih dulu memelopori dengan penerbitan majalah rutin bernama “Api Kartini”. Tidak berhenti sampai disitu, melalui Keppres RI No. 108/1964 sosok RA. Kartini pun dipilih dan ditetapkan sebagai simbol dari kebangkitan kaum perempuan di negeri ini, hari lahirnya 21 April ditetapkan sebagai hari besar nasional yang patut diperingati setiap tahunnya. Sejak saat itu ia dilabeli sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Kontroversi pun melekat dengan sosok mendiang RA. Kartini. Banyak kalangan yang menilai selama ini ia sekedar dijadikan objek, dan diekspose secara berlebihan demi pencapaian legitimasi kepentingan tertentu. Keotentikan surat dan penerjemahannya pun dipertanyakan. Bahkan tidak sedikit kalangan yang mempermasalahkan penobatan Kartini sebagai pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan sebagai hari besar nasional, kelompok ini biasanya mengkronfontir peran Kartini karena dianggap pasif dibanding beberapa tokoh pahlawan perempuan lainnya, yang turut berjuang secara fisik melawan penjajah. Namun, bagaimanapun juga seorang Kartini adalah satu dari segelintir manusia yang melampaui zamannya.
Penting bagi saya untuk mengajak kita semua mencoba berkenalan kembali dengan sosok RA. Kartini bukan sekedar sebagai pelopor emansipasi perempuan, dan memperingati hari lahirnya dengan ritual formal berupa lomba berdandan dan berkebaya saja, sebagaimana diajarkan oleh Rezim Orde Baru yang sengaja mengkerdilkan jasanya. Sebab yang terpenting justru bagaimana kita mampu menyerap dan meluaskan gagasan-gagasan Kartini kepada generasi baru dan masyarakat luas dalam konteks kekinian sebagai sosok pejuang anti penindasan gender, anti penjajahan antar bangsa, dan pelopor nasionalisme Indonesia. Bacalah karyanya, jangan sekedar baca biodata singkat dan kisah hidupnya yang sentimental saja.
Gagasan dan Perjuangan
Kita memang harus lebih serius mengenal Kartini, Orang boleh saja berkata sinis, bahwa Kartini cuma anak priayi yang kesepian, kerjanya hanya menulis surat dan curhat pada teman-temannya. Akan tetapi, kalau kembali ke konteks zaman Kartini hidup dahulu, apa yang dilakukannya adalah salah satu bentuk perjuangan paling maju, mengingat tidak ada perempuan lain seberani dirinya, yang pada jamannya feodalisme masih kuat mencengkeram, tetapi dia sudah berani berkata: “Bukan terhadap pria kami melancarkan peperangan, tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi Jawa kami di kemudian hari”.
Bagi Kartini, apa yang disebut “zaman gelap-gulita” adalah keadaan dimana rakyat pribumi tidak bisa menikmati kemajuan. Penyebabnya, rakyat dibelenggu oleh feodalisme dan kolonialisme sekaligus, dan salah satu sarana menuju kemajuan itu adalah melalui pendidikan bagi masyarakat umum termasuk perempuan, seperti dalam sepucuk suratnya kepada sahabatnya, Stelle Zeenhandelaar, seorang sosial-demokrat Belanda. Kartini mengatakan: “Pemberian pengajaran yang baik kepada rakyat sama halnya dengan pemerintah memberikan obor ke dalam tangannya agar ia menemukan sendiri jalan yang benar menuju tempat nasi itu berada.”
Seperti diketahui, pendidikan nasional kita sebagai fondasi Bangsa memang sedang terpuruk di setiap lini, semua berakar sejak pemerintah kita mengikuti anjuran neoliberal pada masa kepemimpinan Soeharto hingga sekarang. Negara selalu berusaha lepas tangan dalam urusan pendidikan melalui berbagai aturan kebijakan yang dikeluarkannya. Tidak begitu saja, pendidikan pun diserahkan kepada mekanisme pasar, akhirnya pendidikan menjadi semacam komoditi yang diperjual-belikan, dan menciptakan segmentasi, diskriminasi, serta dehumanisasi yang begitu parah sebab iklim kompetisi yang diterapkan hanya akan menghasilkan output SDM yang berpengetahuan teknis, berwatak individualis dan apatis.
Sebagai pembaca karya Multatuli, Ia begitu meresapi arti kata “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia”. Kartini sadar betul, manusia tidak akan bisa mengembangkan dirinya jika tetap bodoh, miskin, dan ditundukkan oleh orang atau pihak tertentu. Karena itu ia memandang kesetaraan yang harus dicapai bukan sebatas perkara gender. Tetapi, ia juga menginginkan kesetaraan bagi seluruh golongan manusia dan bangsa. Dalam surat lain ia menulis : “Kaum perempuan tidak perlu mengkotakkan perjuangannya. Karena, bagaimanapun, laki-laki dan perempuan punya tujuan untuk menghancurkan musuh yang sama, yaitu penjajahan imperialisme dan kapitalisme atas hajat hidup orang banyak”.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia terkemuka, dalam novelnya berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” meletakkan Kartini sebagai konseptor Indonesia modern. “Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertama kali timbul di Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu (Abad 19). Ditangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia—Indonesia dewasa ini.” Tulis Pram.
Terhadap praktik kolonialisme dan segala bentuk upaya mengamini penjajahan bangsa atas bangsa, Kartini tidak tanggung-tanggung untuk berkata : “Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”
Apa yang disebut-sebut sebagai praktik kolonialisme atau penjajahan asing itu kini sudah menemukan bentuk barunya, yakni kapitalisme-neoliberal yang tak kasat mata, berbeda dengan pola penjajahan klasik yang dapat dinderai dengan mudah, berupa pendudukan negeri terbelakang oleh segelintir pasukan militer Eropa yang mengambil alih kekuasaan secara langsung, kini kita hanya mampu merasakan bentuk dominasi kekuasaan ekonomi yang berujung pada pengaruh penentuan kebijakan politik demi kelancaran proses pelipatgandaan keuntungan investor luar negeri yang menebar investasi dimana saja. Tak terelakkan bahwa kondisi sistemik seperti ini akan semakin memperlebar kesenjangan antara segelintir si kaya dan jutaan si miskin dan menggusur posisi kita menjadi kuli di negeri sendiri.
Sekarang ini, sebagaimana banyak diakui, kekayaan alam Bangsa kita pun mulai habis diangkut oleh perusahaan besar dari negeri-negeri imperialis asing, Sehingga kita masih saja terpuruk dalam label “Negara dunia ketiga” yang tak pernah kunjung maju mandiri, seakan satu-satunya pandangan yang tepat adalah Negara tidak akan mampu menjalani fungsinya mewujudkan kedaulatan dan kemandirian serta keadilan sosial bagi masyarakatnya tanpa intervensi tangan ketiga alias bantuan modal swasta terutama asing.
Memetik Makna
Di sinilah relevansi pemikiran Kartini, bahwa manusia adalah subjek perubahan. Satu sikapnya yang tak pernah berubah adalah keberpihakan kepada masyarakat umum, ia tidak pernah merasa terpisah secara hakekat. Sekalipun dikurung dalam keraton dan dibelenggu oleh sistem hirarki feodal, Kartini terus mendeklarasikan dirinya “sebarisan nasib dengan rakyat”, meski pada akhirnya ia harus mengalah pada keputusan penjinakkan berupa pernikahan paksa.
Itulah sikap yang sangat jarang ditemukan sekarang, yang terjadi justru kebalikannya, mayoritas para pemimpin sangat senang tinggal di istana, sengaja berjarak dengan rakyat, dan tidak mau peduli dengan penderitaan rakyat. Akibatnya, kebijakan sang pemimpin seringkali berlawanan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Begitupun sikap ikut arus pada kaum muda masa kini yang lebih memilih hanyut mengikuti trend popular-liberal atau sibuk mengejar pencapaian material pribadi ketimbang menempa diri sebagai manusia produktif yang kelak akan membawa manfaat makro bagi Bangsa. Bagaimana dengan kita ?
Sebuah kenyataan meskipun pahit haruslah mampu segera kita sadari, dan sebuah prubahan menuju keadaan yang lebih baik tentulah pula harus segera kita perjuangkan. Sepenggal kalimat dari mendiang RA. Kartini dalam salah satu suratnya saya rasa baik untuk menutup tulisan sederhana ini, “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal berhasil, itu semboyanku ! maju ! semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani ! pemberanilah yang memenangkan tiga perempat dunia !”.
Akhir kata saya serukan: Mari kita kobarkan apinya Kartini, bukan abunya !
Selamat Hari Kartini !
_______________
Bandar Lampung, 21 April 2013.
*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila 2008
Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
Mobile : 0857-69422333, e-mail ; saddam.cahyo@gmail.com
-bengkeltulissaddamcahyo.blogspot.com-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H