Belajar adalah tuntutan seluruh manusia, sedangkan "Pergi ke tempat belajar" adalah pilihan dan tidak wajib. Pendidikan kita masih mempersepsikan bahwa belajar hanya ketika berada di tempat belajar, seperti sekolah, les privat, kampus, dll. Pemikiran ini akhirnya melahirkan analogi baru yang menyeleneh: "Kalau saya tidak di tempat belajar, maka saya tidak perlu belajar/tidak sedang dalam proses belajar". Akibatnya, belajar menjadi sebuah proses yang kaku, eksklusif, dan formalistis. Padahal, seharusnya dilaksanakan secara elastis, inklusif, dan realistis.
Kebanyakan masyarakat kita melaksanakan proses belajar hanya sebatas perkara kewajiban belajar dua belas tahun atau sekadar ingin melanjutkan studi demi memperoleh gelar. Para filsuf Yunani Kuno memandang ini sebagai hal yang bodoh dan sia-sia. Belajar yang ditujukan untuk sebatas memperoleh gelar adalah bentuk dari narsisme. Akibatnya, kita seringkali menjumpai beberapa ungkapan yang mengatakan bahwa gelar sudah tidak lagi menjadi tanda kecerdasan atau bukti proses belajar, melainkan sebagai aksesoris, hiasan, dan "pemercantik" nama.Â
Kita seharusnya malu dengan orang-orang jaman dahulu yang rela menaruh hati dan perhatian mereka pada "isi" dari proses belajar, dan bukan sekadar ingin mendapatkan material demi diakui oleh lingkungan sosial. Jika mereka menggunakan persepsi yang sama dengan kita saat ini, mungkin Sokrates, Seneca, ataupun Aristoteles telah memiliki seribu gelar yang tersusun di depan atau belakang nama mereka.
Melihat fenomena ini, tidak heran apabila Mas Nadiem Makarim mengatakan bahwa gelar sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai tanda kemahiran seseorang, karena kebanyakan masyarakat saat ini menjadikan gelar sebagai pemenuhan kebutuhan sosial daripada akal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H