Pendahuluan
Sudah hampir satu abad (78 tahun waktu penulisan) semenjak penjajahan Jepang di Indonesia. Banyak kebijakan yang diterapkan oleh Jepang di masa pendudukan mereka pada Perang Dunia Ke-2. Beberapa merupakan kebijakan yang menguntungkan bersama, namun kebanyakan tidak terlalu baik.
Awalnya, mereka bagaikan cahaya harapan bagi rakyat Indonesia karena sudah menendang Belanda yang sudah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Lambat laun, Jepang mulai menunujukan warna asli mereka. Perlakuan-perlakuan mereka yang sangat kejam dan keji terhadap rakyat Indonesia dan warga Belanda meninggalkan sebuah luka yang dalam bagi mereka yang pernah ditindas oleh Jepang.
Tindakan Jepang yang tidak humanis seperti kebijakan Romusha yang memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja keras dengan upah yang sangat sedikit, merampas hasil pertanian rakyat Indonesia sehingga membuat banyak rakyat Indonesia mati kelaparan, dan tanam paksa membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Banyak yang kehilangan sahabat, keluarga, dan kerabat mereka karena tindakan tentata Jepang yang keji. Banyak wanita-wanita dipaksa menjadi budak seks untuk tentara Jepang. Menyebabkan trauma yang berat bagi korban penindasan Jepang.
Penindasan Jepang pada Rakyat Indonesia
Kempeitai dan Penyensoran Kritik terhadap Kekaisaran Jepang
Demi menjaga kedudukan mereka di Indonesia. Nippon mempunyai sebuah organisasi yang bernama Kempeitai, sebuah satuan polisi militer (mirip satuan Gestapo Nazi Jerman) yang juga berfungsi sebagai polisi rahasia yang ditempatkan di seluruh wilayah Jepang. Kempeitai dikenal sangat kejam kepada orang yang dianggap meresahkan dan mengnggu kekuasaan Jepang.
Tjak Doerasim, seorang bintang ludruk (sebuah kesenian drama tradisional Jawa Timur) yang telah mengkritik perlakuan Jepang pada warga Surabaya bagaikan 'merpati di dalam sangkar' dan membuat warga Surabaya menderita. Ia ditangkap oleh Kempeitai Jepang dan disiksa habis-habisan oleh polisi militer Jepang tersebut.
Pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik juga pernah menjadi keganasan Kempeitai. Ia disiksa oleh para Kempeitai dengan cara dipukul dengan pentungan sampai pingsan. Sayuti Melik diduga melakukan gerakan bawah tanah oleh Jepang sehingga terjadilah penyiksaan terhadap dia.
Romusha dan Tanam Paksa
Romusha dan Tanam Paksa, yang memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja dan bertani untuk Jepang dengan upah yang sangat sedikit, makin semena-mena. Sebanyak 93.000 nyawa diambil oleh Romusha yang diterapkan oleh Jepang. Umur pekerja Romusha sangat beragam, dari yang muda sampai yang tua. Ini yang membuat Romusha sangat kejam, mereka tidak pandang umur. Banyak dari mereka masih muda, bahkan tidak sedikit diambil oleh Jepang untuk bekerja paksa saat mereka masih bersekolah.Â
Sarjo bin Karto, seorang mantan korban Romusha asal Purworejo yang menjadi saksi kekejaman Romusha. Ia menjadi pekerja Romusha selama 3 tahun dan mulai bekerja dari umur 12 tahun. Ia ditangkap oleh tentara Jepang dengan teman-temannya saat masih duduk di kelas lima SD.
Ia dibawa ke Pulau Manuk dengan menggunakan kereta, dimana dia mendeskripsikan rasanya didalam kereta seperti diperlakukan sebagai 'hewan ternak.'Â
Disana ia hanya diberi makanan sangat sedikit, sebanyak 250 gram atau 1 batok dengan garan seadanya setiap hari. Mereka diberi upah sebanyak 35 sen, sebuah jumlah yang sangat sedikit untuk pekerjaan yang mereka lakukan.