Setiap pagi, mereka dipaksa untuk menyangikan Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) dan hormat kepada bendera matahari terbit Jepang. Lalu mereka bekerja tanpa henti sampai jam 4 sore.
Katanya Sarjo bin Karto, hidupnya dipenuhi oleh duka dibandingkan suka. Setiap hari, dia melihat satu persatu pekerja Romusha tumbang akibat kondisi kerja yang keras.
Jugun Ianfu
Jugun Ianfu, atau wanita penghibur, adalah istilah yang digunakan untuk wanita yang melakukan layanan seksual kepada anggota Tentara Jepang selama Perang Dunia Ke-2. Awalnya, rumah bordil mendirikan oleh angkatan bersenjata Jepang dengan tujuan menyediakan layanan wanita penghibur untuk anggota tentara Jepang demi mengurangi insiden pemerkosaan.Â
Namun, lama-lama, tujuan itu makin menyimpang dan tentara Jepang mulai memaksa wanita-wanita untuk menjadi Jugun Ianfu. Mereka mengincar wanita yang buta huruf, memiliki kesusahan finansial, atau berpendidikan rendah untuk diiming-iming dengan janji palsu agar menjadi budak seks. Banyak diantara budak seks atau jugun ianfu masih muda dan dibawah umur.
Seorang warga Indonesia bernama Sri Sukanti merupakan salah satu dari tidak banyak penyintas Jugun Ianfu Jepang. Sri Sukanti dibawa paksa oleh tentara Jepang saat ia berumur 9 tahun. Ayahnya menangis melihat Sri Sukanti dibawa paksa oleh tentara Jepang, jauh dari dirinya.
Di tangan tentara Jepang, Sri Sukanti diperkosa oleh perwira militer Jepang. Perwira militer Jepang itu melakukan tindakan kekerasan seksual dan hal yang tidak senonoh, tidak manusiawi kepada Sri Sukanti.
Disana, Sri Sukanti disuntik agar tidak hamil secara rutin oleh tentara Jepang. Suntikan tersebut sangat kuat, sampai Sri Sukanti 'nggak bangun' selama satu minggu. Sri Sukanti juga menjelaskan kesakitan di satu tempat saja yaitu pada tempat bekas suntikan.
Kejamnya, masih banyak perempuan lain yang berada di gedung Sri Sukanti berada pada saat itu. Namun, Sri Sukanti tidak bisa melihat mereka karena mereka berada di ruangan lain.
Penutup
Kekejaman Jepang kepada orang-orang yang tidak bersalah sangat tidak bisa diterima. Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap korban-korban perlakuan tak senonoh Jepang meninggalkan luka yang mendalam bagi mereka, sebuah trauma yang besar.
Sayangnya, banyak dari pelaku kekejaman itu tidak bisa dihukum. Pemerintah Jepang masih membantah beberapa kejahatan yang telah mereka lakukan saat Perang Dunia Ke-2.
Kita harus mencegah hal ini dari terjadi lagi dengan berjuang demi perdamaian, dan mencegah dan menghentikan tindakan opresi terhadap suatu bangsa, ras, atau negara.