Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub didalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki konsepsinya diantaranya adalah wajib memiliki seperangkat kaidah norma dan aturan yang berlaku serta mampu melindungi hak-hak warga negaranya. Selain itu, negara Indonesia menerapkan teori Trias Politica atau separation of power (pemisahan kekuasaan) dengan adanya pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif sendiri dimiliki oleh Presiden, Wakil Presiden dan dibantu oleh para Menterinya. Kekuasaan Legislatif sendiri dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi anggaran dalam merancang dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diberikan untuk lembaga eksekutif, fungsi pengawasan dalam melaksanakan pengawasan kepada lembaga eksekutif dan selanjutnya adalah fungsi legislasi dalam merancang dan mengesahkan aturan undang-undang.Â
Kekuasaan yudikatif di Indonesia dimiliki oleh Mahkamah Agung yang menaungi peradilan umum, militer, agama dan tata usaha negara. Selanjutnya kekuasaan yudikatif dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang memiliki tugas, fungsi dan kewenangan dalam memeriksa, memutus dan mengadili sengketa kewenangan lembaga negara, perolehan hasil pemilihan umum, pembubaran partai politik dan pengujian undang-undang yang sekiranya bertolak belakang dengan landasan konstitusi bangsa Indonesia.
Pada belakangan ini sedang hangatnya isu adanya perancangan undang-undang pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh lembaga legislatif, setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas perolehan kursi sebagai syarat mutlak dalam pengusungan calon kepala daerah dalam kontestasi pemilihan kepala daerah yang akan segera dilaksanakan di Indonesia. Gelombang protes dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat dan kelompok lain atas adanya isu perancangan undang-undang pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPR. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis memberikan pandangan melalui tulisan ini yang bertujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada publik, karena hal ini merupakan menjadi tanggungjawab moral penulis sebagai lulusan Fakultas Hukum Universitas Pakuan.
Pertama, perlu dipertegas bahwa Indonesia ini menganut separation of power, yang artinya ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Telah menjadi wewenangnya Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang yang diajukan apabila muatan materi undang-undang didalamnya bertentangan dengan UUD 1945 sebagai aturan yang tertinggi di Indonesia. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah secara tegas mengatur jenis dan hierarki aturan undang-undang yang terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada ketentuan pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa aturan yang berada di bawah UUD 1945 tidak dapat bertentangan dengan landasan konstitusi bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia. Hal ini selaras pula dengan asas persengketaan undang-undang melalui lex superior derogate legi inferior (aturan yang tertinggi mengesampingkan aturan yang berada di bawahnya).
      Kedua, pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji undang-undang yang sekiranya diajukan oleh warga negara, dikarenakan adanya dugaan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Adanya pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang wajar didalam negara hukum. Perlu digaris bawahi bahwa perancangan dan pengesahan undang-undang merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga legislatif. Pengujian undang-undang bertujuan agar peraturan yang dirancang dan disahkan oleh legislatif tidak menciderai kepada hak-hak konstitusi setiap orang, karena UUD 1945 merupakan suatu kontrak yang mengatur hak dan kewajiban negara dengan warga negaranya serta norma yang wajib dihormati berdasarkan aturan yang tertinggi didalam hierarki undang-undang di Indonesia.
      Ketiga, Mahkamah Konstitusi ini merupakan pengadilan pertama dan terakhir di Indonesia hal ini diperkuat melalui Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sehingga bentuk permohonan yang diajukan kepada MK ini akan menjadi upaya pertama dan terakhir yang dapat ditempuh oleh pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan langsung memiliki kekuatan hukum yang tetap, dikarenakan putusan ini bersifat final and binding. Dikarenakan sifat putusannya tersebut, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh pihak yang memiliki kepentingan dalam permohonan yang diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
      Keempat, adanya isu DPR sebagai lembaga legislatif, yang merevisi UU Pilkada pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi, ini menjadi suatu tindakan yang tidak etis, dikarenakan seharusnya legislatif menghormati dan menjunjung tinggi adanya suatu putusan pengujian undang-undang yang dibuat oleh mereka. Jika terdapat alasan bahwa hal tersebut merupakan kekuasaan legislatif karena memiliki open legal policy (kebijakan hukum terbuka), maka yang patut diperhatikan dalam hal ini, ialah bentuk penghormatan antar lembaga yang memiliki kekuasaan yang berbeda-beda.
Apabila dianalogikan secara sederhana legislatif memiliki tugas dalam merancang dan mengesahkan undang-undang. Yudikatif memiliki kewenangan dalam memeriksa, memutus dan mengadili permohonan dan perkara yang diajukan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif, yang secara substansi memiliki salah satu tugas diantaranya adalah pengujian undang-undang dengan UUD 1945. Pengujian ini dapat dilakukan apabila adanya permohonan pengujian yang diajukan oleh pemohon yang dalam pokok permohonannya adanya suatu aturan yang dibuat legislatif yang sekiranya bertentangan dengan norma tertinggi yaitu UUD 1945 dan apabila dalam putusannya menurut Mahkamah Konstitusi adanya ketentuan pasal didalam aturan tersebut yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan pasal tersebut dapat dicabut dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Berdasarkan hal tersebut, maka seyogyanya lembaga legislatif menghormati adanya putusan pengujian undang-undang yang dibuat oleh mereka (legislatif) karena bertentangan dengan UUD 1945 dan justru bukan merevisi undang-undang yang telah secara jelas bertentangan dengan norma tertinggi menurut kekuasaan yudikatif.
Solusi atas terjadinya permasalahan tersebut, ialah dengan menghormati dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif. Kedua, penulis memberikan gagasan kepada lembaga legislatif dalam merancang dan mengesahkan undang-undang untuk memperhatikan kaedah filosofis negara Indonesia melalui Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, hendaknya pembentuk undang-undang memahami urgensi lain dalam mengisi kebutuhan hukum di tengah kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti urgensi aturan undang-undang perampasan aset, meratifikasi aturan nasional agar selaras dengan konvensi internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H