Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rethinking of Indonesian Democracy

5 Juli 2021   11:25 Diperbarui: 5 Juli 2021   12:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat berpendapat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dirancang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Charles Costello, demokrasi termasuk sistem sosial dan politik, yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum. 

Demi melindungi hak seluruh warga negara. Jika disederhanakan, secara eksplisit demokrasi yang basis dan orientasinya adalah rakyat, rakyat dengan segala kedaulatannya mewakilkan segala urusannya kepada pemimpin atau wakilnya, sekaligus merupakan hukum yang membatasi dan mengontrol jalannya kekuasaan beserta kebijakan-kebijakannya.

Dalam konteks ini, konsepsi demokrasi yang utuh dan adil setidaknya mensyaratkan beberapa hal. Pertama, terdapat kemerdekaan absolut dari sebuah bangsa. Baik secara kolektif maupun secara individual. Sehingga individu diberikan kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berserikat, tentu dalam batasan-batasan tertentu dan tidak melanggar hak dan kehormatan orang dan atau kelompok lainnya. Kedua, tingkat pendidikan atau indeks pembangunan manusia yang mumpuni. 

Karena pengambilan keputusan dan kesempatan memilih warga negara saat berpartisipasi pada momentum politik harus didasarkan pada suasana intelegensia yang adil dan cermat. 

Sejak ratusan tahun sebelum masehi, para filsuf yunani telah mewanti-wanti soal watak demokrasi yang memberikan hak politik yang sama kepada seluruh warga negara. One man one vote, itulah ciri yang dianggap mereduksi sisi keadilan secara intelektual. Socrates, adalah filsuf yang secara tegas menolak sisi krusial yang diremehkan demokrasi ini. 

"Karena tidak semua orang bisa memilih secara baik dan benar", demikian logika Socrates. Maka sebagai solusi, socrates merekomendasikan agar dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, hanya dipercayakan kepada orang-orang bijak saja. Karena arah kebijakan dan pembangunan negara mesti ditentukan dari dan oleh kapasitas intelektual penyelenggaranya. 

Ketiga, prinsip kesetaraan yang adil dan masif. Kesataraan di depan hukum dan mendapatkan pelayanan publik menjadi hal yang penting dalam konteks ini, tidak terkecuali kesetaraan ekonomi bangsa. Maka keadilan sosial dan keadilan ekonomi terhadap seluruh rakyat menjadi mutlak adanya.

Demokrasi yang utuh akan terefleksi pada sumber daya manusia yang unggul dan terjalin eratnya elemen dan simpul-simpul pemersatu bangsa. Negara bangsa yang menjadi identitas suatu negara mestinya memberikan kekhasan tersendiri sesuai dengan cita rasa  mazhab pembangunan ekonomi, rekayasa sosial, jati diri budaya dan bahkan agama terhadap demokrasi. 

Maka, dalam rangka me-review dan mengevaluasi lanskap demokrasi Indonesia, Australia National university (ANU) menyoroti dan mengevaluasi kemunduran demokrasi Indonesia. Menurut konferensi yang mengangkat tema "From Stagnation to Regression" menyimpulkan bahwa, "Political illiberalism, weakining party foundations and escalating sectarian polarization have significantly undermined Indonesia's democracy quality. 

This trend, which began in the early 2010s, extended into 2019 election and was accelerated by them" (the JP, 21/09). Meski dinilai berlebihan karena temanya yang mendeskreditkan Indonesia, bahwa demokrasi Indonesia yang lebih mengarah pada slow moving of Democracy jika tidak bisa disebut sebagai demokrasi yang cenderung pada praktik otoritarianisme. Sementara Prof. Paige Jhonson Tan mendeskripsikan demokrasi Indonesia seperti "the only game in town" pada Kyoto Review, 2018 lalu.

Jika boleh meminjam pendekatan Linz & Alfred Stepan, Jonson menguraikan 6 konsolidasi demokrasi, yakni 1) stateness, 2) civil society, 3) political society, 4) role of law, 5) state bureaucracy, dan 6) economic society. Pada titik ini, bisa kita simpulkan bahwa etos demokrasi yang ideal belum seutuhnya kita nikamati di negara yang sudah 20 tahun berlepas diri dari sabotase semangat diktatorship ini. Maka sudah saatnya bangsa ini merefleksikan kembali jejak langkah demokrasi secara mendasar dan substansial. Pikiran serta konsepsi demokrasi yang luhur mesti dikaji kembali (Rethinking of Democracy) secara jernih yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila. Wasalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun