Mohon tunggu...
Sadam Nurjaeni
Sadam Nurjaeni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi menonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual di Kampus Dipicu oleh Perilaku Berpacaran Mahasiswa

17 Desember 2022   14:36 Diperbarui: 17 Desember 2022   14:48 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Sadam Nurjaeni

NIM : 1405621026

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pacaran dan Dating yaitu masa orientasi dan rekonsiliasi antara dua jenis orang yang berbeda dalam ikatan cinta pranikah/masa pemantapan keyakinan akan pernikahan guna menyempurnakan pernikahan dan menghasilkan keturunan yang akan menyambung generasi.[1] Istilah berpacaran sering sangat lekat dengan remaja, remaja akan mulai menunjukan  ketertarikan seksual yang umumnya pada lawan jenis dan rasa ingin memiliki membuat budaya berpacaran sering di jumpai terutama di dalam kehidupan kampus, saling mengasihi memiliki support system untuk kehidupan remaja menjadikan pacaran sangat sering dilakukan oleh remaja. Sebagai bentuk dari hubungan sosial, hubungan pacaran pasti tidak terlepas dari konfliknya.

[2] Salah satu konflik yang terjadi adalah kekerasan seksual, hal ini membuat budaya pacaran terkadang di pandang sebagai perilaku yang tidak baik karena menjerumus kepada hal yang negatif dan bertolak belakang dengan ajaran agama. Di Indonesia sendiri relasi gender menempatkan posisi pria diatas perempuan, hal tersebut sudah tersosialisasi sejak dahulu dan sudah menjadi norma dalam masyarakat Indonesia sendiri jika laki-laki lah yang harus menjadi pemimpin dan dominan dalam struktur organisasi seperti keluarga, masyarakat bahkan dalam pacaran itu sendiri. Dalam ilmu sosiologi, "konflik" didefinisikan sebagai berikut proses sosial dua orang bahkan lebih yang melakukan menjatuhkan dan menghilangkan lawan.[3] Dalam hubungan berpacaran tidak selalu semanis madu yang selalu membuat kasmaran, namun dapat juga terjadi kesalahpahaman juga kekerasan dalam hubungan.

Di Indonesia sendiri masih banyak terdapat kasus kekerasan akibat dari gaya berpacaran itu sendiri. Data pada tahun 2021 sendiri menurut Theresia Iswarini mengatakan bahwa banyaknya kejadian kekerasan untuk masalah berpacaran merupakan yang paling sering dilaporkan masyarakat total terdapat 1.200 laporan diantaranya kasus kekerasan dalam pacaran.[4] Seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh karena hal tersebut pacaran di Indonesia sendiri oleh masyarakat mendapatkan pro dan kontra-nya sendiri. Gaya berpacaran merupakan proses sosial yang secara bertahap dilanjutkan sejak saat orang merasa tertarik terhadap orang lain yang kemudian juga mengakhiri hubungan kencan, pola interaksi yang saling terkait proses kencan itu sendiri.[5] 

 1.2 KERANGKA KONSEP

 Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka pemaparan kerangka konsep yang akan dianalisa dalam makalah ini seperti berikut ini.

BAB 2. PEMBAHASAN

 2.1 Fenomena Pacaran Mahasiswa

 Pacaran telah menjadi hal wajar terjadi dewasa ini oleh anak muda di Indonesia, ketertarikan yang umumnya kepada lawan jenis membuat keterikatan sebelum menikah (pranikah). Proses pacaran biasanya dikarenakan sudah munculnya ketertarikan seksual ataupun keinginan memiliki satu sama lain.

 Menurut Hurlock remaja adalah tahap berkembangnya antara fase kanak-kanak ke dewasa 12-21 tahun. Masa remaja termasuk fase mula antara usia 12 dan 15 tahun tahun, pertengahan remaja 15 hingga 18 tahun dan Remaja akhir 18 hingga 21 tahun.[6] Di masa ini individu sedang masa peralihan dari anak yang bekum mengerti banyak hal menuju masa dewasa yang banyak ingin tahu banyak hal karenanya mencari jati diri, begitupun dengan pacaran yang sering ditemukan di dalam kampus. 

Mereka yang termasuk dalam kategori remaja ialah mereka yang memiliki usia diantara 12-25 tahun.[7] Keingintahuan yang besar, perasaan ingin di akui dalam masyarakat menunjukan sikap yang cenderung ikut-ikutan, remaja sangat rentan dengan perilaku menyimpang seperti merokok, mencuri, tawuran, bullying, juga termasuk pacaran itu sendiri, selain sudah munculnya rasa ketertarikan seksual, pengaruh teman sebaya juga mempengaruhi maraknya remaja berpacaran agar tidak dianggap "kolot" dan selalu mengikuti perubahan atau justru yang tidak berpacaran akan dianggap individu yang aneh karena tidak menunjukan keterterikan seksual di usia balighnya. 

 Dalam proses sosial berpacaran didalamnya terdapat. Pertama, ketertarikan antar individu, strategi dalam komunikasi (interaksi) yang di mana "dramaturgi" juga ikut andil di dalamnya.[8] Dramaturgi merupakan teori dari Goffman yang menggunakan metafora kehidupan sosial sebagai gambaran dari sebuah drama, karyanya terkenal disebut Dramaturgi, yang menganalisis cara individu menampilkan karakter yang berbeda di dalam kehidupan sehari-hari, yang terdiri dari panggung depan sebagai tempat penampilan karakter , dan panggung belakang tempat para actor bersantai diluar peran, tempat berlatihnya actor dan beristirahat sebelum kembali ke panggung depan.

[9] Dalam proses ini keduanya dalam berkomunikasi pasti ingin melihatkan versi terbaik dalam dirinya, bagaimana dia berprilaku, meununjukan rasa simpati dan kasih sayang, semuanya dikemas bagaikan individu yang sedang melakukan drama diatas panggung depan. 

Kemudian yang kedua, motivasi pribadi untuk menjalin hubungan pacaran, motivasi individu ini dapat ditelusuri lebih lanjut melalui konsep akal, yang terdiri dari; rasionalitas formal, instrumental, nilai atau afektif; ketiga, persetujuan atau kesepakatan ketika dua orang lawan jenis membuat janji dalam suatu hubungan, keempat, bagaimana dua orang berkomitmen untuk menjalin hubungan pacaran.[10] Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia pada tahun 2017 saja mencatat bahwa 80 persen lebih remaja telah berpacaran.[11] Oleh karena itu, potensi kekerasan seksual oleh perilaku berpacaran pada remaja meningkat pula selaras dengan pertumbuhan budaya berpacaran pada remaja itu sendiri.

 2.2 Gaya Berpacaran Remaja 

 Gaya berpacaran biasanya berpola sama, perbedaan gaya berpacaran mungkin saja terjadi karena faktor eksternal seperti tradisi ataupun pengaruh lingkungan. Tujuan pacaran pada dasarnya adalah untuk berkencan satu sama lain untuk mengetahui, membangun, mendukung, mencintai dan peduli satu sama lain, melindungi dan menghormati satu sama lain.[12] Remaja biasanya melakukan keintiman hubungan untuk menunjukan rasa kasih sayang dalam hubungan, namun juga dapat terjadi bahwa dalam hubungan berpacaran akan terdapat dominasi oleh salah satu pihak untuk memimpin, memilih, menentukan apa yang dilakukan dalam berpacaran. Di era sekarang juga remaja membagi kategori diri dalam mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya atau disebut juga love language.

 Salah satu pemikiran Pierre Bourdieu ialah sistem skema reproduksi yang diperoleh yang disesuaikan secara objektif dengan memulihkan kondisi spesifik di mana mereka dibentuk.[13] Habitus atau gaya hidup yang sudah ada dan bertahan lama dan melekat dalam masyarakat. 

Habitus sendiri memilki pemaknaan berbeda yang mewakili gaya hidup, kelas sosial, menjadi struktur internal yang menyediakan pilihan tindakan.[14] Di Indonesia sendiri kedudukan laki-laki cenderung lebih mendominasi dibandingkan perempuan, dalam berpacaran kedudukan laki-laki menjadi dominan pula seperti dalam struktur keluarga yang sudah menjadi bentuk tindakan yang ada sejak lama di masyarakat, laki-laki dalam berpacaran dan mengekspresikan cintanya biasanya dengan melakukan pendekatan perasaan, emosional dan fisik, seperti memberi hadiah untuk pasangan, saling percaya hingga berpegangan tangan ataupun hubungan fisik seperti ciuman, dan hubungan intim. Hal ini terjadi menurut teori Blumer, yang merupakan hasil dari proses interaksi individu, menunjukan rasa saling pengertian dan interpretasi makna tindakan pihak lain. 

[15] namun di Indonesia sendiri berhubungan intim sebelum menikah merupakan penyimpangan karena tidak sesuai dengan norma hukum dan agama yang ada, jika hal tersebut terjadi pihak perempuan yang paling dirugikan mental dan fisiknya.

 2.3 Kekerasan Seksual Karena Perilaku Pacaran

 Pacaran juga termasuk dalam bentuk hubungan sosial, dan tidak dipungkiri terjadi kekerasan dalam berpacaran, hal tersebut merupakan hasil dari konflik yang terjadi dalam proses hubungan sosial dalam berpacaran itu sendiri. Kekerasan dalam hubungan pacaran ini sering sekali terjadi di Indonesia.

 Salah satunya kasus yang menimpa mahasiswi yang di perkosa pacarnya di hotel di kawasan Surabaya Utara, yang berdalih untuk menyelesaikan permasalahan namun korban disetubuhi hingga dua kali, dan selain mendapatkan kekerasan seksual korban mendapatka kekerasan fisik karena dipukuli pelaku di kamar mandi hingga lemas, dan kemudian berujung melampiaskan hawa nafsu pelaku.[16] Kejadian tersebut merupakan salah satu contoh dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Perilaku menyimpang remaja ini dapat bereaksi ketegangan sosial yang menimbulkan konflik normative.[17]

 Struktur gender yang timpang juga menempatkan laki-laki pada posisi rentan, jika tidak dikendalikan dengan terarah keadaan ini dapat menyebabkan laki-laki melakukan kekerasan seksual.[18] Dengan begitu tidak juga menutup fakta bahwasanya terdapat juga case laki-laki dapat mengalami kekerasan oleh perempuan. Namun, kekerasan yang terjadi dalam hubungan biasanya diakibatkan oleh budaya patriarki yang sudah melekat dan menjadi budaya di Indonesia. 

 Kekerasan adalah perbuatan yang tidak menyenangkan yang dapat dialami oleh salah satu pihak baik secara fisik maupun mental atau psikis.[19] Kekerasan dapat terjadi pada siapapun, dapat mengalami di dalam keluarga maupun di lingkungan luar. Seperti pada kasus tersebut laki-laki yang merasa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi mengendalikan pacarnya untuk melakukan permasalahan yang dialami, ia menyuruh pacarnya untuk datang ke sebuah hotel karena menganggap dirinya mempunyai power akan hal itu dalam mengatur kekasihnya, namun bukan penyelesaian persoalan yang didapat mahasiswi tersebut malah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual dari sang pelaku (kekasihnya).

 Kekerasan dalam berpacaran sendiri bermacam-macam bentuknya dapat berupa kekerasan verbal, dimana di dalam hubugan pacaran salah satunya sering berkata-kata kasar kepada kekasihnya, atau dapat berupa hinaan yang merendahkan pasangannya yang dapat membuat korban merasa sakit hati dan merasa terancam, kemudian dapat ditemukan juga kekerasan fisik, berupa tindakan kekerasan yang menimbulkan bekas luka atau rasa sakit pada fisik sang korban, biasanya sang pelaku selalu bermain tangan kepada korban jika terdapat masalah pada hubungan yang umumnya adalah rasa cemburu, kemudian kekerasan seksual, sang pelaku melakukan tindakan mengarah kepada sex seperti memaksa korban untuk bersetubuh, menggesekkan kelamin, mengirim foto/video bugil. Kekerasan tersebut jika terus menerus dilakukan dalam gaya berpacaran sering disebut juga sebagai toxic relationship yang merupakan gambaran dimana dalam sebuah hubungan terdapat salah satu pihak yang selalu dirugikan.[20]

 Ada  beberapa yang melatarbelakangi toxic relationship, berada dalam pergaulan yang salah, tidak adanya rasa kepercayaan diri,dibutakan oleh cinta dan kasih sayang.[21] Pergaulan remaja sangat mempengaruhi pikiran, tindakan, kebiasaan individu itu sendiri, pertemanan juga salah satu dari tempat bersosialisasi dan berbagi informasi, jika memilih pertemanan yang salah tidak sesuai dengan apa yang di inginkan, maka pergaulan itu sendiri akan menjadi toxic relationship sama halnya dengan berpacaran, jika individu dalam hubungan pacaran sudah dibutakan oleh rasa kasih sayang maka tindakan kekerasan apapun yang dilakukan pasangan akan dinilai tidak akan menjadi masalah, dan menganggap itu bagian dari rasa kasih sayang sang pelaku itu sendiri.

 Teori Mead memusatkan pada symbol atau makna didalam interaksi sosial manusia, bagiamana manusia menciptakan arti dari symbol yang ada di lingkunganya.[22] Dalam perilaku hubungan toxic biasanya setelah melakukan kekerasan seperti verbal, fisik, ataupun seksual pelaku akan membelikan hadiah kepada kekasihnya, seperti makanan ataupun barang dan sang korban akan terus kembali memaafkan pacarnya karena menganggap hal yang dia lakukan bentuk dari kasih sayang dan secara tidak langsung terus menerus terperangkap dalam zona toxic itu sendiri.

 BAB 3. Kesimpulan

Mahasiswa merupakan remaja insan generasi penerus bangsa yang seharusnya menggali sebanyak-banyaknya ilmu dan pengalaman di dalam dunia kampus, namun terdapat banyak sekali kasus kekerasan seksual yang mirisnya terjadi di dalam lingkungan kampus, mahasiswa dilecehkan, dosen melecehkan mahasiswa ataupun sebaliknya. Pertemanan juga memiliki pengaruh penting dalam bagaimana perilaku remaja terbentuk, lingkungan yang tidak baik toxic akan berdampak pada perilaku menyimpang remaja, salah satunya berpacaran, 

namun pacaran tak selalu berdampak positif namun dapat berdampak negative pula, dalam prosesnya menurut Goffman dalam teorinya dramaturgi dinama individu memainkan karakter seperti dalam pentas derama dalam proses sosialnya, terdapat front stage dimana aktor berperan dan menampilkan sisi yang ingin dia lihatkan saja dan back stage dimana aktor berlatih, dan beristirahat, seperti halnya sebelum dan proses pacaran tersebut terjadi aktor yang memiliki ketertarikan pada seseorang akan menampilkan sisi terbaiknya, dan berpenampilan yang lebih baik untuk menarik perhatian seseorang yang disukai, hal itu berlanjut saat proses pacaran iu berlangsung juga aktor akan menunjukan sisi romantismenya.

 Berpacaran juga terdapat dampak negative seperti kekerasan, salah satunya kekerasan seksual yang dapat terjadi karena adanya relasi gender, seperti pada kasus yang dialami mahasiswi di Surabaya, karena terdapat relasi kekuasan gender pria yang kuat pelaku dengan dominasinya menyuruh hal ini dan itu pada korban, dan sang korban yang sempat melawan pun tidak bisa menghindari perintah pelaku. 

Menurut teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead di dalam hubungan beracun pacaran atau toxic relationship pelaku yang sudah melakukan kekerasan akan menangis meminta maaf dan membelikan barang ataupun makanan sebagai permintaan maaf seperti coklat, bunga, boneka dan tas, namun karena dibutakan oleh cinta korban memaafkan dan menganggap kekerasan yang dilakukan simbol dari adanya rasa cinta dan kasih sayang. Kekerasan seksual dalam kampus yang akhir-akhir ini sering terjadi merupakan tanggung jawab kita semua, pemerintah dan pihak kampus dapat berpartisipasi dalam penyuluhan mengenai kekerasan seksual dan membuat badan khusus yang mewadahi korban kekerasan seksual dalam kampus.

 

BAB 4 Daftar Pustaka

 Al Anshori, A. N. (2020). Lebih dari 80 persen Remaja Telah Berpacaran, Potensi Kekerasan Seksual pun Meningkat. Jakarta: Liputan 6.

 Gunawan, A. H. (2007). Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Indonesia: Rineka Cipta.

 Inayah, N. (2022). Analisis "Toxic Relationship" Dalam Pacaran dan Relevansinya Dengan Pola Perilaku Sosial Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Surabaya: UIN Sunan Ampel.

 Irma, A., Wahyuni, P., & Arifin, S. (2021). Perempuan: Perempuan dan Media Volume 2. Aceh: Syiah Kuala University Press.

 Jenkins, R. (2002). Pierre Bourdieu. New York: Routledg.

 Kisriyanti. (2013). Makna Hubungan Seksual dalam Pacaran Bagi Remaja di Kecamatan Borneo Kabupaten Bojonegoro. UNESA vol 1 No 1, 4.

 Malaka, T. (2018, Maret 12). KIsah Pilu Mahasiswi yang Diperkosa Pacar, Berawal dari Kekesalan di Kampus hingga DIbawa ke Hotel. Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

 Meilia, N., Ardi, S., & Muis, T. (2014). Perilaku Seksual Remaja Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Jurnal BK UNESA, 651.

 Musarrofa, I. (2019). Pemikiran Pierre Bourdieu Tentang Dominasi Maskulin dan Sumbangannya Bagi Agenda Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Kafaah Jurnal, 38-39.

 Nugroho , W. B., & Sushanti, S. (2019). Kekerasan Dalam Pacaran: Anatomi Konflik dan Penyelesaiannya. Jurnal Sosiologi Walisong, 146.

 Putri Rusman, A. D., Malaah, M. N., & Hengky, H. K. (2022). Gender dan Kekerasan Perempuan. Indonesia: PenerbitNEM.

 Sayekti, I. N. (2017). Analisis Teori Interaksionisme Simbolik Pada Pengaplikasian Konsep Maskulinitas mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Jurnal FKIP UNS.

 Scott, J. (2006). Fifty Key Sociologists: The Contemporary Theorists. London and New York: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun