Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waspadai Potensi Bullying di Hari Pertama Sekolah Anak

16 Juli 2016   11:16 Diperbarui: 16 Juli 2016   17:04 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. nobullying.com

Salah satu hal yang membuat orangtua wajib mengagendakan mengantar anak saat hari pertama sekolah mereka, terutama di jenjang paling awal TK-SD, ialah adanya potensi bullying antar teman di lingkungan belajar itu. Data hasil riset LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan fakta bahwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. 

Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Sebagai tambahan, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan.

Observasi keseharian yang intens dan obyektif dalam kebersamaan keluarga tentunya sangat dibutuhkan orangtua agar mampu membuat deskripsi mengenal pola perilaku maupun kepribadian anaknya dalam upaya mencegah buah hati tercinta terperangkap dalam lingkaran destruktif bullying, baik sebagai korban atau pelakunya.

Anak baru, anak terkecil/termuda dalam kelompok, anak inferior, bahkan anak superior bisa saja menjadi korban bullying di sekolah mereka. Anak inferior ini meliputi anak yang memiliki trauma tertentu hingga sering menyendiri untuk menghindari hal yang ditakutinya, anak patuh yang bersedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati orang lain, anak pengalah yang sebisa mungkin menghindari konflik sekecil apapun, anak pemalu/pendiam yang sebisa mungkin berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain, anak yang paling miskin, anak yang ras/etnisnya dipandang rendah, anak yang agama atau orientasi gender/seksualnya dipandang rendah,  anak yang terlalu gemuk/kurus, dan  anak yang memiliki cacat fisik atau keterbelakangan mental. 

Sementara anak superior bisa dibilang merupakan kebalikan dari anak-anak inferior; mereka bisa saja sangat rupawan, pintar, berasal dari keluarga terpandang, atau berperilaku intimidatif.  Bisa disimpulkan dari rangkaian karakteristik di atas bahwa dua faktor utama penyebab seseorang menjadi korban bully adalah penampilan dan status sosial.

Di sisi lain anak-anak yang memiliki potensi menjadi pelaku bully memiliki ciri-ciri selalu merasa harus berkuasa di manapun dia berada, termasuk di arena bermain maupun sekolah; tidak merasa bersalah setelah melakukan tindakan yang salah terhadap orang lain, kurang empatik, dan cenderung berperilaku  agresif, termasuk pada orang dewasa di sekelilingnya. 

Saat melakukan tindak bullying biasanya dia akan merekrut sejumlah teman untuk mendukung aksinya yang sebisa mungkin disembunyikan sedemikian rupa hingga luput dari pengamatan orangtua, guru, maupun orang dewasa lain yang berwewenang mengasuh mereka. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat jumlah anak sebagai pelaku kekerasan (bullying) di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di 2015. Tentu saja itu belum termasuk kasus-kasus yang tidak menyeruak ke permukaan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa mengantar anak di hari pertama sekolahnya tidaklah cukup sekedar menurunkan di depan gerbang sekolah dan melepasnya begitu saja. Momen membangun komunikasi antara orangtua, lingkungan sosial sekolah, dan anak adalah isu utama yang harus sangat diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh orangtua. 

Kehadiran orangtua di sisinya saat pertama kali bersekolah bagi anak-anak jenjang TK dan SD bisa menghadirkan rasa aman sekaligus dukungan baginya untuk membangun  rasa percaya diri yang memang sangat dibutuhkan dalam menjalin interaksi dengan lingkungan sosialnya yang baru.

Kepercayaan  itu pula yang akan membuatnya merasa nyaman dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak perlu harus menjadi orang lain agar bisa diterima oleh kawan-kawan barunya. Afirmasi anak untuk tetap melakukan berbagai hal baik yang telah diajarkan kepadanya dimanapun dia berada, termasuk di sekolah. 

Saat ada masalah dalam pergaulannya; dia bisa mengandalkan orangtuanya untuk menceritakan hal itu dan kemudian bersama-sama mencari solusinya. Ikatan komunikasi yang terpelihara baik antar anak-orangtua ini merupakan jaring pengaman terbaik untuk melindungi anak dari cengkraman bullying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun